Berbagai pengembang (developer) properti tengah getol menggenjot penjualan. Berbagai penawaran menggiurkan pun disodorkan kepada calon pembeli usai pandemi covid-19 membuat sektor tersebut terengah-enggah.
Tengok saja Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan penjualan properti residensial pada kuartal II 2021 masih anjlok minus 10,01 persen dari tahun sebelumnya.
Di sisi lain, harga pertumbuhan harga properti justru naik 1,49 persen untuk periode sama. Sementara dari sisi pembiayaan konsumen, BI menyebut fasilitas KPR masih jadi primadona karena 75 persen konsumen menggunakannya untuk kebutuhan cicilan rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Perencana Keuangan Safir Senduk menyarankan mereka yang mulai sibuk hitung-hitungan menyisihkan gaji untuk cicilan untuk tak buru-buru mengambil KPR. Saran terutama ia berikan untuk mereka yang bergaji pas-pasan.
Menurut dia, kebanyakan orang memutuskan mengambil cicilan hunian karena faktor psikologis, misalnya persepsi ada stabilitas tertentu kalau membeli rumah. Padahal, ia mengatakan tak ada salahnya mengontrak rumah.
Namun, untuk Anda yang sudah menetapkan pilihan ingin mengambil KPR, Safir menyebut secara perencanaan keuangan dan ketentuan BI checking maksimal pengeluaran untuk semua cicilan adalah 30 persen dari total pemasukan per bulan.
Bila mengikuti ketentuan tersebut, perhitungannya sederhana. Misal gaji Anda Rp10 juta per bulan.
Maka, Rp3 juta dari pendapatan Anda bakal disisihkan untuk membayar kredit rumah. Nah, dari sana juga Safir menyebut Anda bisa mulai membayangkan rumah jenis apa dan di daerah mana yang bisa Anda miliki.
Untuk Anda yang tak memiliki pendapatan sampingan dan bergaji di kisaran tersebut, Safir menyebut hunian yang bisa dibeli relatif ada di pinggiran kota. Bagi mereka yang bekerja di pusat kota, Safir menyebut faktor lelah mesti bolak-balik rumah-tempat kerja mesti jadi faktor yang diperhitungkan.
"Faktor badan juga harus diperhitungkan, jangan malah lelah sendiri karena harus bolak-balik setiap hari," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Senin (1/11).
Alternatif lain, kata dia, adalah Anda mencari pekerjaan yang dekat dengan rumah atau kompromi soal jenis hunian yang sesuai dengan dompet. Misalnya dibanding membeli rumah, Anda bisa memilih apartemen yang lebih murah namun tetap berada di pusat kota.
Lihat Juga : |
Di sisi lain, Anda juga bisa mencari pekerjaan atau pendapatan sampingan untuk menambah bayar cicilan. Apalagi di zaman serba online, Safir menyebut menjadi pengusaha jauh lebih mudah dan memungkinkan.
Safir mengatakan bila total pemasukan belum mencukupi cicilan sebesar 30 persen dari hunian idaman, itu bisa jadi lampu merah kalau Anda sebetulnya belum mampu mencicil KPR.
Karena itu, ia mengingatkan untuk tidak memaksakan diri bila memang belum siap mengambil cicilan. Secara umum, ia menilai mereka yang bergaji tak jauh-jauh dari UMR Jakarta belum siap untuk mengambil rumah.
Sepaham, Perencana Keuangan Advisors Alliance Group Indonesia Andy Nugroho juga menyebut hitung-hitungan mampu tidaknya mengambil KPR tidak terlalu sulit. Rumusnya, bila 30 persen dari pendapatan Anda terpotong dan Anda masih bisa hidup 'enak', maka artinya Anda sudah siap mengambil KPR.
Andy menyebut hidup Anda tidak seharusnya jadi sengsara hanya karena mengambil KPR. Bila kebutuhan dasar saja sudah sulit dipenuhi gara-gara KPR, Andy menyarankan jangan dulu ambil KPR.
Anda bisa fokus meningkatkan pendapatan sembari mengumpulkan DP agar angsuran pun tak terlalu memberatkan.
Jangan lupa, Anda juga harus menyisihkan biaya akad seperti biaya provisi, asuransi, notaris, hingga pajak penghasilan final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan (PPhTB) yang setara 7 persen-10 persen dari plafon rumah.
"Jangan karena KPR hidupnya jadi sengsara karena konsekuensinya bisa panjang 10-20 tahun ke depan," pungkasnya.
(wel/agt)