Kendati begitu, Bhima sejatinya tetap ingin pemerintah serius mengejar target penurunan ketergantungan energi pada PLTU dan beralih ke EBT. Sebab, masalah pengurangan emisi karbon untuk menanggulangi dampak perubahan iklim perlu benar-benar ditanggapi dengan serius, karena punya dampak yang besar juga bagi kehidupan mendatang.
"Transisi energi dengan pensiun dini PLTU tetap harus dikejar meski Indonesia agak terlambat," kata Bhima.
Lalu, bagaimana caranya? Yang paling mendasar adalah memetakan pembangkit mana saja yang perlu dipensiunkan lebih dulu. Tentunya, Indonesia juga tidak boleh kehilangan manfaat dari pembangkit tersebut dengan menyetopnya secara asal tanpa kajian pemanfaatan yang optimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka dari itu, pembangkit yang perlu dipensiunkan tentu yang umurnya memang sudah tua. Selanjutnya, perlu ada kajian soal pengganti energi dari pembangkit tersebut.
"Misalnya bisa dilihat, di lokasi pembangkit tua itu ada sumber EBT apa yang memungkinkan untuk dibangun, apakah ada sumber energi panas bumi (geothermal), angin, surya, atau hydro (air), opsinya harus jelas dan pasti," tuturnya.
Catatan lain dari Bhima adalah pembangunan sumber energi pengganti harus berkapasitas besar, tapi kebutuhan biayanya masih terjangkau. Dengan begitu, pemerintah tidak akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan biayanya dan kecukupan energi dari pembangkit yang baru tidak menimbulkan gejolak bagi masyarakat dan industri ke depan.
Sementara dari sisi pendanaan, pemerintah tentu perlu merogoh kocek sendiri karena ini merupakan infrastruktur dasar. Tapi, bila memang ada proyek-proyek pembangkit yang memungkinkan untuk dilakukan dengan skema kerja sama dengan swasta dan investor, tentu bisa juga dilakukan.
Maklum saja, kebutuhan dana untuk mempensiunkan PLTU lalu menggantinya dengan sumber EBT tidak murah. Estimasi dari pemerintah saja mencapai ratusan triliun sampai beberapa tahun ke depan.
Selain dari kedua opsi itu, pemerintah sejatinya juga bisa memanfaatkan penerimaan dari pajak karbon. Kebetulan, pajak karbon baru akan diterapkan pada PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) mulai 1 April 2022.
"Penerimaan dari pajak karbon harus diintegrasikan karena pemerintah dan PLN yang pasti mendapat penugasan, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka, penerimaan pajak karbon bisa menjadi insentif bagi PLN. Ingat, jangan sampai penerimaan pajak ini justru untuk bayar utang," ungkapnya.
Yang tak kalah penting, masyarakat juga harus segera diedukasi untuk peduli menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan. Harapannya, hal ini bisa membuat masyarakat sadar dan mau berperan dalam konsumsi energi bersih, bukan sekadar energi yang murah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan kebutuhan pendanaan pemerintah sejatinya bisa lebih hemat jika menggunakan skema pendanaan yang tepat. Misalnya, lebih banyak memanfaatkan kerja sama internasional dari lembaga keuangan hingga bilateral dengan negara lain.
"Rencananya menggunakan mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM) yang sumber dananya berasal dari ADB, World Bank, dan pendanaan bilateral," ucap Fabby.
Menurut hitung-hitungannya, dengan skema ini maka kebutuhan pendanaan berkisar US$16 miliar sampai US$29 miliar atau Rp228,8 triliun hingga Rp414,7 triliun. Dana ini bisa untuk mempensiunkan dini PLTU dengan kapasitas berkisar 10-16 GW.
"Dengan skema ETM, dana yang dipakai untuk retirement (pensiun) bisa diinvestasikan ke pembangkit energi terbarukan. Pada dasarnya kapasitas PLTU yg dipensiunkan harus diimbangi dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan sesuai dengan kebutuhan (demand) yang diproyeksikan," jelasnya.
Selain itu, ia juga mewanti-wanti agar target ini dikejar dengan konsisten untuk tidak membangun PLTU baru di luar proyek 35 GW yang sudah ada di kontrak. Kemudian, pensiun dini dimulai pada PLTU yang memang sudah tidak efisien atau sudah tua mulai 2022 sampai 2030.
Tak ketinggalan, pemerintah juga perlu konsisten agar pembangkit yang sudah habis kontraknya, maka tidak diperpanjang lagi dengan alasan apapun.
(agt)