Ambisi Pensiunkan PLTU dan Ketergantungan Besar RI ke Kilau Emas Hitam
Pemerintah berencana mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dengan kapasitas mencapai 5,5 GW dalam beberapa tahun ke depan. Sebagai gantinya, pembangkit fosil itu akan diganti dengan yang lebih ramah lingkungan dan merupakan energi baru terbarukan (EBT).
"Kebutuhan pendanaan sebesar US$25 miliar sampai US$30 miliar (setara Rp357,5 triliun sampai Rp429 triliun) selama delapan tahun ke depan," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, Rabu (3/11).
Ini merupakan bagian dari ambisi pemerintah menekan kadar emisi karbon mencapai nol persen pada 2060. Kendati begitu, apakah rencana ini realistis? Maklum saja, dana yang dibutuhkan cukup besar, sementara perjalanan untuk mencapai target ini cukup panjang.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara agak sangsi dengan target tersebut. Sebab, ia khawatir rencana ini ibarat janji di bibir saja alias lip service dari pemerintah karena tengah menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26 2021 di Glasglow, Skotlandia dalam beberapa hari terakhir.
"Tentu pemerintah ke depan harus konsisten, jangan hanya karena lagi di forum global, kemudian cari legitimasi dan pendanaan besar dari negara maju, tapi kesiapan teknisnya tidak disiapkan dengan matang. Khawatirnya begini, kalau tidak ada road map jelas, nanti omong kosong saja," ucap Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Di sisi lain, Bhima juga agak sangsi target ini benar-benar mau dikejar karena ketergantungan Indonesia pada batu bara masih tinggi. Perlu diakui, batu bara merupakan 'sumber cuan' bagi Indonesia pada saat ini.
Apalagi, harganya tengah melejit di pasar internasional. Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga acuan batu bara sempat turun ke kisaran US$84,47 per ton pada Maret 2021.
Namun, mulai April harganya menanjak ke US$86,68 per ton. Harganya terus naik sampai menyentuh US$161,83 per ton pada Oktober 2021. Hal ini membuat ekspor batu bara dari Indonesia ke sejumlah negara mitra meningkat tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor pertambangan menanjak hingga 183,5 persen menjadi US$3,77 miliar pada September 2021. Sumbangan ini terbesar dari batu bara.
Porsinya mencapai 70,3 persen dari total nilai ekspor pertambangan.
"Terbukti ketergantungan terhadap batu bara masih tinggi dan pemerintah sepertinya masih sulit benar-benar meninggalkan batu bara. Apalagi banyak pejabat punya kepentingan di batu bara," imbuhnya.
Selain tak boleh cuma jadi janji di bibir saja, strategi mencapai target perlu dirancang dengan matang agar Indonesia tidak seperti China. Saat ini, Negeri Tirai Bambu itu tengah mengalami krisis energi.
Hal ini terjadi karena permintaan konsumsi listrik masyarakat dan industri meningkat tinggi sejalan dengan pemulihan ekonomi di negara tersebut. Namun di saat yang sama, China juga tengah berusaha mengurangi penggunaan pembangkit batu bara.
"Kalau mau pensiunkan PLTU, harus lihat juga apakah transisi energi (dari fosil ke EBT) bisa berjalan tidak, apakah pasokannya cukup atau tidak, kalau tidak nanti seperti China. Mereka juga tidak siap dalam hal transisi, EBT, integrasi, dan infrastruktur kelistrikannya, sehingga sempat memberi dampak pada krisis energi," ujarnya.
Masalahnya, kalau ada kekurangan pasokan dalam transisi energi, dampaknya bisa fatal bagi Indonesia. Sebab, populasi penduduk di tanah air tinggi, tak kalah juga dari China.
Belum lagi, energi merupakan komponen vital dalam menunjang berbagai mobilitas dan aktivitas masyarakat. Selain itu, energi juga sangat sensitif terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Ambil contoh, ketika harga BBM naik saja, maka akan banyak pihak yang menjerit. Begitu juga bila stoknya kosong dan menimbulkan antrean mengular di pom bensin, semua akan ikut mengeluh.