Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mempertanyakan formula atau hitung-hitungan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang digunakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Formula yang dimaksud ialah aturan batas atas dan batas bawah upah minimum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Presiden KSPI Said Iqbal mengutip amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa kenaikan UMP dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) disesuaikan dengan besaran inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"UU Cipta Kerja jelas mengatakan UMK atau UMP bisa ditetapkan oleh gubernur dengan menyesuaikan kenaikannya sebesar inflasi atau pertumbuhan ekonomi," kata Said dalam konferensi pers, Senin (22/11).
Namun kenyataannya, kini upah minimum hanya dinaikkan sebesar 1,09 persen berdasarkan formula batas atas dan batas bawah. Ia menegaskan formula ini tidak dapat dijadikan acuan, karena tidak diamanatkan oleh UU Cipta Kerja sebagai induk peraturannya.
Menurut pantauan CNNIndonesia.com, dalam UU Cipta Kerja Pasal 88C ayat 4 disebutkan upah minimum kabupaten/kota dapat ditetapkan oleh gubernur dan disyaratkan untuk mengikuti pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
"Upah di bawah inflasi itu juga melanggar UU Cipta Kerja yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah dan DPR," imbuhnya.
Selain itu, ia juga menyoroti kenaikan upah yang hanya sebesar 1,09 persen masih kalah jauh dibandingkan inflasi yang terjadi.
"(Contohnya) inflasi Jawa Barat saja 1,79 persen, rata-rata kenaikan upah nasional hanya 1,09 persen. Upahnya di bawah inflasi, ya nombok namanya," tegasnya.
Said mengatakan jika keputusan ini menjadi aturan nasional, maka pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5 persen tak akan tercapai. Sebab, upah minimum berada di bawah inflasi, sehingga daya beli masyarakat akan turun.