Puluhan buruh turun ke jalan dan memenuhi kawasan Nol Kilometer Kota Yogyakarta pada Rabu (24/11) siang. Mereka menolak Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Tahun 2022 di DIY beserta kebijakan yang jadi dasar perumusannya.
Massa membawa poster hingga spanduk menyerukan penolakan besaran UMP/UMK 2022 di DIY. Begitu pula orator aksi dari atas bak mobil terbuka yang mewakili para buruh atas kebijakan pengupahan terkini.
"Tolak UMP/UMK dan perumusannya menyengsarakan rakyat," pekik sang orator.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekjen DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Irsyad Ade Irawan mengatakan ada beberapa poin yang menjadi tuntutan aksi kali ini. Pertama, besaran upah minimum yang tak mencerminkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebesar Rp2,9 juta sampai Rp3 juta berdasarkan hasil survei.
Kenaikan yang selalu jauh dari KHL tiap tahunnya, bagi KSPSI, hanya menciptakan defisit untuk buruh dan melanggengkan ketimpangan serta kemiskinan.
"Masalahnya upah di Jogja (DIY) sangat rendah dan sebelumnya paling rendah se-Indonesia. Maka perlu ada kenaikan upah yang signifikan untuk mencapai KHL membantu buruh dalam kondisi Covid," kata Ade di lokasi aksi.
Para buruh, menurut Ade, juga keberatan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dipakai untuk merumuskan upah minimum. Survei KHL masih dianggap cara yang lebih pantas untuk menentukan dasar upah minimum.
"Kita meminta Gubernur DIY bertanggungjawab atas penetapan upah. Dia harus merevisi dan memberikan bantuan lain seperti dana kompensasi berupa subsidi pangan, transportasi, kemudian subsidi pendidikan dan lain-lain," ucap Ade.
Terlebih, kata Ade, persentase kenaikan upah lewat PP 36 Tahun 2021 berkisar 3-4 persen berada di bawah PP 78 Tahun 2015 yang dulu dipakai dan ditolak juga oleh para buruh. Yakni sebesar 6-7 persen.
Hal lain yang menjadi dasar penolakan upah minimum tahun ini adalah karena UU Cipta Kerja yang tengah digugat serikat-serikat pekerja atau buruh. Artinya, menurut mereka, baik UU tersebut maupun aturan turunannya tak bisa jadi landasan dalam menetapkan upah minimum 2021.
Bentuk protes terhadap dua aturan ini diilustrasikan oleh para buruh dengan memajang manekin yang mati tergantung dan tercekik kebijakan pengupahan keluaran pemerintah.
"Boneka digantung maknanya bahwa ternyata Presiden Jokowi dalam membuat kebijakan pengupahan selalu jelek dari tahun ke tahun," tegas Ade.
Sebelumnya, Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengumumkan UMP di wilayahnya tahun 2022 naik Rp75.915,53 menjadi Rp1.840.915,53. Kenaikan ini sebesar 4,30 persen dibandingkan upah minimum 2021.
Sultan menerangkan, UMP 2022 ditetapkan dari hasil rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi. Terdiri dari unsur serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, Badan Pusat Statistik (BPS), dan akademisi.
Selanjutnya, dengan menimbang rekomendasi bupati/wali kota atas usulan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota, Sultan menetapkan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) tahun 2022.
Di antara 5 kabupaten/kota se-DIY, Kota Yogyakarta masih dengan level UMK tertinggi sebesar Rp2.153.970, sementara Gunungkidul terendah, yakni Rp1.900.000.
Sultan mengurai, penentuan UMP/UMK di DIY tahun 2022 ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan Surat Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor B M/383/HI.01.00/XI/2021 tentang Penyampaian Data Perekonomian dan Ketenagakerjaan dalam Penetapan Upah Minimum Tahun 2022.