Buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Maksimal Sumatera Utara menggelar aksi di Kantor Gubernur pada Selasa (30/11) siang. Para buruh menuntut agar Gubernur Sumut Edy Rahmayadi segera merevisi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2022 menjadi 7 persen dari yang hanya 0,93 persen.
"Kami minta revisi UMP karena sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja. Kami minta gubernur merevisi UMP agar naik sekitar 5 persen-7 persen," ujar Ketua Aliansi Buruh (FSPMI) Sumut Willy Agus Utomo.
Buruh turut mengingatkan Edy untuk tidak terburu-buru menandatangani Surat Keputusan (SK) penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang telah direkomendasikan para bupati dan wali kota di Sumut berdasarkan PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bupati dan wali kota di Sumut sudah mengirim rekomendasi UMK-nya ke Gubernur Sumut. Bahkan, tengah malam tadi dipaksakan. Padahal, rekomendasinya jelas tidak mengakomodir tuntutan buruh tentang upah layak, jadi kita minta agar Gubernur jangan buru-buru. Lihat kondisi buruhmu hari ini, dan perkembangan nasional," imbuh dia.
Pasca putusan MK soal UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat, lanjut Willy, sudah banyak kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota, yang merevisi kenaikan UMP dan UMK.
"Di DKI, Gubernur Anies sudah berjanji pada buruh akan memperbaiki kenaikan UMP. Beberapa daerah lain, seperti UMK Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Bekasi, Purwakarta, Cianjur, Karawang, Tangerang, dan lain-lain, rata-rata direvisi naik di atas 5 persen-7 persen," terang Willy.
Selain itu, para buruh juga meminta agar pemerintah mencabut UU Ciptaker karena telah melanggar konstitusi UUD 1945.
Willy mengancam akan menggelar aksi besar-besaran di Sumatera Utara jika Gubernur Edy tidak menuruti tuntutan buruh.
"Kita pastikan, kita akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi jika Gubernur Sumut tidak merevisi UMP dan UMK se-Sumatera Utara, bahkan bila perlu menginap di Kantor Gubernur Sumut," tandasnya.