BI: Biaya Tangani Cuaca Ekstrem Tembus Rp100 T per Tahun

CNN Indonesia
Rabu, 08 Des 2021 16:54 WIB
Bank Indonesia (BI) mencatat biaya untuk menangani cuaca ekstrem mencapai Rp100 triliun saat ini dan berpotensi naik terus hingga 2024 mendatang.
Bank Indonesia mencatat biaya untuk menangani cuaca ekstrem mencapai Rp100 triliun saat ini dan berpotensi naik terus hingga 2024 mendatang. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma).
Jakarta, CNN Indonesia --

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi cuaca ekstrem di Indonesia mencapai Rp100 triliun per tahun. Angka ini akan semakin besar apabila masalah cuaca tak ditangani secara serius.

"Saat ini biaya akibat cuaca ekstrem di Indonesia telah mencapai lebih dari Rp100 T per tahun, biaya ini akan terus tumbuh secara eksponensial akibat ekstrem cuaca di masa depan," ungkap Desty dalam Webinar Infobank, Rabu (8/12).

Destry mengatakan biaya yang digunakan untuk menanggulangi cuaca ekstrem berpotensi tembus 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2050 mendatang jika tak ada mitigasi dari pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan hanya soal biaya, perubahan iklim dapat mendatangkan berbagai risiko seperti kenaikan emisi karbon, kenaikan suhu bumi, hingga gangguan stabilitas moneter. Oleh karena itu, Destry menyebut pembiayaan hijau penting untuk memitigasi risiko tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yanti Setiawan mengatakan kerusakan lingkungan dapat menyebabkan ketidakstabilan moneter dan sistem keuangan. Hal ini karena kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim dapat membawa dua risiko besar, yakni risiko fisik dan risiko transisi.

Yanti menjelaskan risiko fisik dari kerusakan lingkungan dapat menyebabkan inflasi dan risiko kredit. Sementara, dampak dari risiko transisi berupa penurunan harga aset, ekspor dan impor, ketidakpastian pasokan, dan kenaikan harga energi.

Ia mencontohkan beberapa risiko transisi yang akan terjadi di Indonesia, seperti investor global yang memandang Indonesia sebagai negara dengan risiko lingkungan (ESG) yang tinggi hingga pemutusan kontrak perusahaan multinasional dengan perusahaan di Indonesia.

Sementara, Plt Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Arifin Rudiyanto mengatakan potensi kerugian akibat perubahan iklim dapat mencapai Rp115 triliun pada 2024.

"Berdasarkan studi kami di Bappenas potensi kerugian akibat perubahan iklim terhadap PDB pada 2024 mencapai Rp115 triliun," ujar Arifin.

Kerugian tersebut dapat terjadi apabila kegiatan bisnis dilakukan seperti biasa. Namun, kerugian dapat ditekan menjadi Rp57 triliun bila ada intervensi kebijakan iklim.

Perubahan iklim, sambung Arifin, juga dapat mempengaruhi target pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan, seperti ketahanan pangan, pembangunan kesehatan, dan infrastruktur.

Sementara, pembangunan rendah karbon di Indonesia masih rendah saat ini. Rinciannya, pembangunan energi berkelanjutan baru mencapai 11,5 persen dari target 13,4 persen, pemulihan lahan baru sebesar 3.631 hektar dari target 366 ribu hektar, dan pengembangan industri hijau baru 3,46 persen dari target 9 persen.

Realisasi yang rendah ini dipengaruhi pandemi covid-19 yang mulai merebak pada tahun lalu. Dengan demikian, operasional di lapangan tak bisa bergerak maksimal.

[Gambas:Video CNN]

(fry/aud)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER