Jakarta, CNN Indonesia --
Lissette Monzon seorangan guru Bahasa Inggris sekolah menengah di Florida, AS masih merasa sedikit bersalah atas pembelian 'gila' yang dia lakukan dengan paylater tiga tahun lalu. Saat itu ia membeli sepasang sepatu bot Valentino seharga US$700 atau setara Rp9,95 juta (kurs Rp14,225 per dolar).
"Itu uang yang banyak bagi saya, dan saya melunasinya sedikit demi sedikit," katanya seperti dikutip dari CNN Business, Rabu (22/12).
Monzon membayar menggunakan layanan paylater Klarna. Meskipun Monzon tidak kesulitan melunasinya dengan enam kali pembayaran, namun ia juga mengaku pengeluarannya tidak sesuai dengan kapasitasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengaku sebelumnya tidak pernah menghabiskan uang US$700 hanya untuk membeli sepatu bot. Setelah melakukan pembelian tersebut ia tidak bisa tidur dan terus menyesalinya.
Paylater sendiri merupakan fasilitas keuangan yang mirip dengan fasilitas utang kartu kredit. Dengan paylater, pengguna bisa menunda pembayaran atas produk/jasa yang dibelinya, untuk dilunasi saat jatuh tempo.
Meski dianggap sebagai alternatif kartu kredit yang lebih aman dan mudah diakses, konsumen berpendapat bahwa layanan tersebut dapat mendorong orang untuk membelanjakan lebih dari yang mereka mampu.
Di AS sendiri layanan ini sedang populer. Penyedia layanan paylater, Klarna menggandakan basis pelanggan AS menjadi 20 juta antara Juni 2020 dan Agustus 2021. Sementara jumlah pengguna mereka di Inggris telah meningkat 36 persen sejak Oktober 2020.
Saat ini perusahaan asal Swedia itu telah memiliki lebih dari 90 juta pengguna aktif di 20 negara.
Sementara, penyedia layanan paylater asal AS, Affirm memiliki jumlah pengguna yang tidak kalah banyak. perusahaan ini juga telah bermitra dengan Amazon sejak Agustus lalu sehingga pelanggan di AS dapat mencicil pembelian di atas US$50 atau sekitar Rp711,55 ribu.
Perusahaan AS lainnya, Square, tidak kalah sukses, mereka telah membeli perusahaan Australia Afterpay seharga US$29 miliar atau sekitar Rp412,74 triliun pada musim panas ini. Akuisisi tersebut merupakan yang terbesar.
Banyak konsumen yang beralih menggunakan paylater sebagai opsi untuk membiayai kebutuhan sekunder. Menurut penelitian dari perusahaan perangkat lunak Salesforce, selama Cyber Week (23 November-29 November) penggunaan paylater melonjak 29 persen secara global dari tahun lalu. PayPal mengatakan volume transaksi melalui layanan "Buy in 4" naik 400 persen pada Black Friday dibandingkan pada 2020.
Menjadi lebih boros
Joshua Bivugire (22) seorang pekerja toko teknologi di Auckland, Selandia Baru, mengatakan pengeluarannya untuk paylater tidak terkendali pada Natal lalu, meskipun ia selalu membayar cicilan tepat waktu.
"Jika saya melewati batas saya atau saya memiliki pembayaran lain, saya akan menggunakan aplikasi lain dan kemudian menggunakan aplikasi lain lagi sampai pada titik di mana saya menggunakan tiga aplikasi ketika saya hanya ingin membeli sebuah jaket saja," ujarnya.
Bivugire menggunakan aplikasi penyedia layanan paylater Afterpay, Humm, dan Zip setelah ia kehilangan pekerjaanya. Ia telah membeli banyak peralatan seperti mikrofon, komputer dan lampus studio dengan harga sekitar US$2.026 atau sekitar Rp28,84 juta, dan ia belum melunasinya.
Afterpay menawarkan hadiah kepada pelanggan yang secara konsisten membayar tepat waktu dan, karena Bivugire selalu melakukannya, ia terkadang diberikan cicilan pertamanya secara gratis.
"Melihat US$0 di muka. Itu membuat saya ingin menghabiskan lebih banyak," katanya.
Perusahaan penyedia layanan paylater menghasilkan sebagian besar uang mereka dengan membebankan persentase transaksi yang dilakukan melalui platform kepada pengecer.
Perusahaan menekankan agar pengguna tidak berbelanja di luar kemampuan mereka sehingga terlilit hutang yang besar.
CEO Afterpay Anthony Eisen mengatakan platform miliknya memiliki perlindungan bagi pengguna. Ia membuat kebijakan empat kali angsuran dengan jarak dua minggu.
Jika pengguna tidak mampu melunasinya maka akan dikenakan biaya keterlambatan, dibatasi 25 persen dari nilai pesanan. Hal tersebut dirancang untuk mendorong kebiasaan belanja yang bertanggung jawab.
"Ini bukan tentang mencoba membuat konsumen berhutang, ini memberi konsumen alat penganggaran untuk melakukan pembelian. Dan jika mereka dapat melakukan itu dan mengelolanya serta sering menikmati layanan, itulah cara kami menghasilkan lebih banyak uang," katanya.
Meski demikian, perlindungan yang digunakan oleh perusahaan kartu kredit untuk mencegah pelanggan menimbun utang yang tak terkendali seperti melakukan pemeriksaan kredit, tidak dilakukan oleh semua perusahaan paylater.
Kepala produk konsumen Affirm Vinod Ramachandran mengatakan pihaknya hanya menilai kemampuan pengguna untuk membayar dalam sistemnya sendiri dan menangguhkan akun jika gagal membayar.
"Kami menyetujui konsumen hanya untuk apa yang kami yakini dapat mereka bayar dengan nyaman. Karena kami tidak membebankan biaya keterlambatan atau biaya tersembunyi, kesuksesan kami bergantung pada penjaminan emisi kami," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]
Penagih utang
Top Eksekutif Klarma Alex Marsh mengatakan pihaknya melakukan pemeriksaan kredit pada pengguna. Perusahaan mengirimkan beberapa pengingat pembayaran kepada pelanggan dan menggunakan agen penagihan utang sebagai upaya terakhir jika pengguna tak kunjung membayar.
"Ini (penagih utang) tidak secara langsung, tidak ada juru sita. Ini membuat kontak telepon dan kontak email ke pelanggan pada dasarnya agar mendorong mereka untuk menghubungi kami sehingga kami dapat berunding untuk membantu mereka membuat rencana pembayaran," ujarnya.
Sementara itu, Affirm akan meneruskan wewenang pada penagih utang jika pengguna menunggak lebih dari 120 hari.
Afterpay juga bekerja dengan agen penagihan utang. Namun, perusahaan mengatakan mereka tidak pernah membawa pengguna sampai ke pengadilan.
Meski demikian, menjamurnya paylater menimbulkan kekhawatiran di antara kelompok pengadvokasi utang.
Financial Wellness Group, sebuah perusahaan Inggris yang menawarkan konseling utang gratis, mengatakan ada peningkatan 49 persen antara Maret hingga November dalam jumlah klien dengan utang pada paylater.
Beragam usia pengguna
Pengguna paylater diidentikan dengan anak muda. Terlebih wanita Gen Z yang suka menghamburkan uang untuk membeli pakaian. Pada kenyataanya pengguna lebih beragam dan demografi mereka berubah dengan cepat.
Menurut Cornerstone Advisors, di Amerika Serikat 41 persen milenial (26 hingga 40 tahun) telah menggunakan paylater. Sementara generasi Z (21 hingga 25 tahun) 36 persen.
Klarna mengatakan secara global rata-rata pelanggannya berusia 36 tahun. Namun untuk di Inggris, kelompok dengan pertumbuhan tercepat adalah orang berusia 41 hingga 56 tahun.
Sementara, Afterpay mengatakan bahwa rata-rata usia pengguna dari Eropa adalah 37 tahun.
Kelompok hak konsumen Inggris Which? Money menemukan orang yang baru-baru ini mengalami peristiwa hidup seperti melahirkan, jatuh sakit atau kehilangan pekerjaan lebih cenderung menggunakan paylater.
"Ini bukan tentang kelompok usia dan lebih banyak tentang situasi kehidupan," kata Gareth Shaw, kepala keuangan Which? Money.