KALEIDOSKOP 2021

Utang Masih Jadi Tumpuan Sembuhkan Ekonomi dari Pandemi

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Kamis, 30 Des 2021 10:22 WIB
Pandemi corona yang melanda dunia, termasuk Indonesia telah menimbulkan tumpukan utang. Selama 10 bulan pertama saja, utang pemerintah naik Rp612,72 triliun. Ilustrasi. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pandemi corona yang melanda dunia sejak awal 2020 lalu, telah menimbulkan banyak masalah, termasuk pada utang. Suka tidak suka dan mau tidak mau, pandemi covid-19 memang telah menimbulkan tumpukan utang yang cukup besar bagi RI.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sampai dengan Oktober 2021, jumlah utang pemerintah mencapai Rp6.687,28 triliun per Oktober 2021. Sementara rasio utang berada di kisaran 39,69 persen dari PDB.

Jumlah utang ini naik Rp612,72 triliun dalam 10 bulan terakhir, yaitu dari Rp6.074,56 triliun per Desember 2020. Sedangkan rasionya naik 1,01 persen. Karena tumpukan utang itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan pernah mewanti-wanti pemerintah.

Pasalnya, menurut catatan BPK, rasio debt service atau utang terhadap penerimaan telah mencapai 46,77 persen pada akhir 2020. Itu harus diwaspadai karena lebih tinggi dari rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sekitar 25-35 persen.

Begitu juga dengan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen atau lebih tinggi dari rekomendasi IMF yang sekitar 7-10 persen. Sementara rasio utang terhadap pembiayaan 369 persen atau lebih tinggi dari rekomendasi IMF sekitar 90-150 persen.

"Hasi reviu menunjukkan pandemi covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan SiLPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal," ungkap BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2021 seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (21/12).

Keberadaan tumpukan utang itu pun diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani.  Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu berdalih peningkatan utang di masa pandemi memang tidak bisa dihindari.

Menurutnya, pemerintah tak punya pilihan karena perlu menangani dampak pandemi covid-19 dan memulihkan ekonomi tanah air.

"Apakah itu (ambil utang) harus dilakukan? Menurut saya iya. Tidak ada pilihan, no choice, apakah bisa dilakukan lebih baik? Pasti," ucap Ani, sapaan akrabnya.

Ia menambahkan utang dihimpun untuk menambah anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021 dari semula sebesar Rp356,5 triliun menjadi Rp744,77 triliun. Anggaran PEN digunakan untuk memberikan bantuan sosial (bansos), vaksinasi covid-19, dan pembayaran perawatan pasien virus corona bagi masyarakat, hingga insentif bagi tenaga kesehatan dan dunia usaha.

Namun, realisasinya baru terserap Rp533,6 triliun atau 71,6 persen dari pagu per 17 Desember 2021. Kendati begitu, ia memastikan penggunaan anggaran belanja tetap dilakukan sebaik mungkin.

Begitu juga dengan pengelolaan utang, yang diklaim tetap seefisien mungkin, penuh kehati-hatian, dan tidak ugal-ugalan. Bahkan, ia mengklaim penerbitan utang bisa dikurangi dari rencana awal mencapai Rp1.177,4 triliun pada tahun ini.

"Tahun ini kita mengurangi penerbitan utang Rp263 triliun," ujar bendahara negara.

Sependapat dengan Ani, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pemanfaatan utang sebagai bantalan penerimaan memang mau tidak mau masih harus dilakukan pemerintah pada tahun ini. Semua dilakukan atas nama pemulihan ekonomi.

Menurutnya, kebijakan ini memang tidak salah. Toh, banyak negara lain di dunia yang juga mengandalkan utang untuk pemulihan ekonomi usai tertekan pandemi. Bahkan, jumlah penarikan utang dan rasionya lebih tinggi dari Indonesia.

"Hasilnya sebenarnya bisa kita lihat pada proses pemulihan, setidaknya jika diukur dari pertumbuhan ekonomi, ada peningkatan secara bertahap dan bergerak ke arah positif setelah tahun lalu terkontraksi cukup dalam," kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com.

Tetapi, menurutnya, hal ini bukan berarti tak ada cacat pada pengelolaan utang pemerintah. Terbukti, meskipun banyak menghimpun utang, ternyata masih banyak belanja pemerintah yang belum maksimal.

Masalah itu salah satunya bisa dilihat dari realisasi belanja negara yang baru mencapai Rp2.310,4 triliun atau 84 persen dari pagu Rp2.750 triliun per akhir November 2021. Contoh lain, realisasi PEN 2021 baru 71,6 persen padahal 2021 tinggal beberapa hari lagi.

"Sehingga poinnya, kemampuan menarik utang belum sepenuhnya diimbangi dengan kemampuan untuk membelanjakan utang secara optima. Tentu ini disayangkan, karena ketika utang sudah ditarik, maka ada beban bunga utang yang harus ditanggung oleh pemerintah," tuturnya.

Padahal, sambung Yusuf, publik tentu tahu bahwa beban bunga utang bukan pengeluaran yang produktif bagi kas negara. Untuk itu, pemerintah masih perlu mematangkan kemampuan pengelolaan utangnya ke depan agar penarikan dan penggunaan utang bisa dilakukan dengan lebih cermat.

"Di samping itu tetap menjaga portofolio utang pemerintah dengan kepemilikan domestik yang tinggi dan penggunaan rupiah pada instrumen surat utang pemerintah," terangnya.

3 Saran Perbaikan Pengelolaan Utang


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :