RI Tak Bisa Laksanakan Perjanjian Perdagangan Bebas RCEP per 1 Januari
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan Indonesia tidak bisa mengimplementasikan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) mulai 1 Januari 2022 seperti negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) lain. Sebab, pemerintah dan DPR belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Airlangga menjelaskan pemerintah sebenarnya sudah mengantongi persetujuan ratifikasi dari Komisi VI DPR. Namun, hasil persetujuan komisi belum sampai ke rapat paripurna, sehingga belum ada persetujuan ratifikasi secara final dari lembaga legislatif.
Setelah mendapat persetujuan dari DPR pun, sambungnya, perjanjian RCEP masih perlu disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk disahkan menjadi undang-undang. Dengan begitu, masih ada beberapa tahap lagi sebelum Indonesia benar-benar bisa mengimplementasikan RCEP.
"Maka konsekuensinya, tidak berlaku 1 Januari, tapi setelah diratifikasi DPR untuk kemudian disampaikan ke Bapak Presiden dan diundangkan oleh pemerintah, siklusnya demikian," kata Airlangga di konferensi pers virtual, Jumat (31/12).
Untuk itu, Airlangga berharap DPR bisa segera memberi persetujuan ratifikasi RCEP kepada pemerintah pada awal kuartal I 2022. Tujuannya, agar pemerintah juga bisa mengebut pembuatan undang-undang RCEP pada periode yang sama.
"Sehingga di kuartal I 2022, RCEP sudah diratifikasi di Indonesia," imbuhnya.
Lebih lanjut, telatnya Indonesia dalam meratifikasi RCEP akan berdampak pada mundurnya masa implementasi. Hal ini tentu membuat Indonesia tidak bisa memanfaatkan isi perjanjian RCEP secara maksimal seperti negara-negara ASEAN lain.
Sementara, negara-negara yang sudah meratifikasi bisa langsung menggelar kerja sama perdagangan dan investasi. Mereka adalah Brunei, Kamboja, Laos, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Myanmar serta lima negara di luar ASEAN, yaitu China, Jepang, Australia, New Zealand, dan Korea Selatan.
Namun, Airlangga mengklaim hal ini tidak akan memberi dampak signifikan kepada perekonomian Indonesia. Sebab, Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah perjanjian kerja sama ekonomi ASEAN+1 dengan masing-masing negara di luar ASEAN yang ada di RCEP.
"Memang dengan lonjakan demand saat ini bisa dimanfaatkan Indonesia, terutama dengan RCEP ini, di mana hambatan dari masing-masing negara dikurangi. Tapi kalau bicara perdagangan barang sebenarnya di ASEAN+1 sudah tercakup," jelasnya.
Di sisi lain, ia memastikan Indonesia tetap bisa mengejar peningkatan kerja sama perdagangan dan investasi setelah ratifikasi. Pasalnya, Indonesia punya keunggulan berupa pasar dan bahan baku yang besar, sehingga akan tetap menarik bagi negara-negara lain yang tergabung dalam RCEP.
"Selama pandemi ini kita punya kekuatan dari sektor perkebunan, iron and steel, makanan dan minuman, kimia yang terus tumbuh. Dan ada potensi di e-commerce, kesehatan, ini memunculkan kesempatan baru," pungkasnya.