Di lain sisi, Ferdy melihat perusahaan enggan memasok batu bara ke PLN sebab mereka telah memiliki kontrak kerja dengan pembeli (buyer) di luar negeri, setidaknya untuk 5 hingga 10 tahun mendatang.
"Di tengah pandemi kan kondisi turun terus, makanya ada kecenderungan mereka mengabaikan DMO dalam kerangka untuk mengakumulasi dana yang besar dari harga batu bara di tingkat global. Mereka juga abaikan (DMO) demi menjaga kemurnian kontrak dengan buyer," ujarnya.
Melihat hal itu, ia meminta pemerintah untuk tidak manut kepada pengusaha pertambangan, sehingga dapat merugikan negara hingga masyarakat. "Pemerintah jangan ikut manut dong, harus punya aturan sendiri dan harus tegas Menteri ESDM-nya," tegasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Ferdy turut mengkritik kebijakan pelarangan ekspor ini sebagai kekacauan pemerintah yang tidak sanggup memberikan formula yang tepat dalam mengatur DMO.
"Kalau DMO satu bulan itu kan menurut saya ya amburadulnya Menteri ESDM, dia enggak sanggup buat formula yang tepat dalam mengatur DMO dalam jangka waktu yang lebih panjang, kan enggak mungkin setiap bulan bikin kebijakan DMO," ujarnya.
Ia pun menyarankan agar pemerintah segera merumuskan kebijakan lain seperti memberikan konsesi batu bara yang besar kepada PLN. Agar nantinya, PLN tak perlu lagi menunggu batu bara yang seharusnya diberikan kepada perusahaan negara, namun tak kunjung dipasok oleh pengusaha batu bara.
Pengamat Energi Mamit Setiawan mengatakan alasan dibalik enggannya perusahaan batu bara memenuhi kewajibannya lantaran harga jual batu bara untuk PLN jauh lebih murah dibandingkan harga yang dijual di pasar global.
"Pastinya karena memang harga batu bara cukup tinggi dibandingkan DMO yang sudah ada US$70 per metric ton, sementara di luar di atas US$150. Jadi ada selisih yang cukup signifikan antara harga DMO dengan di luar," katanya.
Selain itu, perusahaan batu bara dinilai juga sudah memiliki kontrak dengan berbagai pihak seperti importir batu bara hingga pengusaha perkapalan pengangkut batu bara, sehingga sulit untuk memasok batu bara untuk listrik dalam negeri.
Di tengah kontroversi, Mamit mendukung pemerintah untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara sementara. Pasalnya, pemadaman listrik yang mengancam 10 juta pelanggan PLN dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian ekonomi hingga kerusuhan sosial.
Ia pun menilai kebijakan pelarangan ekspor batu bara yang dijadwalkan berjalan hingga satu bulan sudah ideal.
"Kalau misal lebih lama lagi saya kira akan timbulkan polemik di pengusaha batu bara. Satu bulan bisa jadi solusi kebutuhan batu bara bagi PLN dan pengusaha bisa ekspor (kembali) ketika pasokan bisa terpenuhi," ujarnya.
Di lain sisi, ia melihat kebijakan pemerintah tersebut akan menguntungkan PLN. Dalam hal ini, layanan listrik kepada pelanggan tidak terganggu.
Mamit juga menilai masyarakat ikut diuntungkan atas kebijakan ini karena pemadaman listrik massal mungkin saja tidak terjadi lantaran sudah mulai terpenuhinya pasokan batu bara bagi PLN.
Sementara itu, pengusaha batu bara dan pengusaha transportasi angkutan batu bara dinilai menjadi pihak yang merugi lantaran terhentinya operasional setidaknya hingga 30 hari ke depan.
Mamit merekomendasikan agar pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait untuk segera berbenah diri agar pasokan batu bara dan listrik nasional tetap stabil di tengah harga batu bara global yang tinggi.
"Saya berikan catatan kepada PLN untuk berbenah dengan memperbaiki sistem kontrak dengan pemasok batu bara dan juga pembayarannya. Sebelum tanggal 31 Januari apabila sudah terpenuhi kebutuhan, PLN jadi bisa meninjau kembali keputusan agar bisa menjadi win-win solution antara pemerintah, PLN, dan pengusaha," tutupnya.