Ia pun melihat pembangunan ibu kota baru dengan menggunakan kas negara dinilai berpotensi mengalami pembengkakan hingga 70 persen dana pembangunan bersumber dari APBN.
"Ini mengulang cerita Kereta Cepat Jakarta Bandung yang awalnya (pendanaan) dari konsorsium ujung-ujungnya menggunakan dana APBN juga. Jadi pemerintah seperti tidak konsisten dan tidak memiliki perencanaan yang matang," katanya.
Alasan di balik potensi pembengkakan anggaran APBN untuk IKN dapat terjadi karena pembangunan ibu kota negara didominasi oleh pembangunan gedung non-komersial, yakni pusat pemerintahan. Dengan demikian, investor pun akan hitung-hitungan dana yang akan digelontorkannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Terkait investasi pembangunan ibu kota baru, Bhima justru khawatir investasi yang akan dicairkan bukan dalam bentuk investasi langsung atau foreign direct investment (FDI), melainkan dalam bentuk lain yang dapat membebankan anggaran negara.
"Tentunya kita perlu pertanyakan juga instrumen apa yang akan dibeli oleh investor. Khawatirnya mereka bukan investasi langsung, tetapi membeli utang dari BUMN atau dari pemerintah, ini namanya pinjaman berkedok investasi. Kalau gitu apapun yang terjadi dengan ibu kota baru, negara tetap harus bayar utang, bunga dan cicilan pokok itu," ucapnya.
Apabila pemerintah tetap bersikeras untuk membangun ibu kota baru di tengah pemulihan ekonomi, Bhima menyarankan agar pemerintah sebisa mungkin untuk mendapatkan investasi langsung tanpa harus tukar guling aset pemerintah.
Kemudian, pemerintah harus berkonsentrasi keras agar pembangunan ibu kota dapat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat secara luas, bukan hanya menguntungkan bisnis tertentu.
Lihat Juga : |
Terakhir, pemerintah perlu membuat perencanaan yang detail dan transparan agar pembangunan IKN tidak menimbulkan pembayaran pajak yang lebih tinggi bagi masyarakat.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan pembangunan ibu kota baru tidak menjadi masalah, apabila pemerintah masih dapat berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan pemulihan ekonomi di tengah pandemi.
"Tidak masalah apabila ingin bangun IKN, tapi komitmen pemerintah untuk penanganan masalah sosial ekonomi harus berjalan beriringan. Jangan sampai anggaran IKN tahun ini segitu, tapi nanti anggaran penanganan sosial ekonominya lebih rendah, padahal tahun ini masih masa transisi pemulihan ekonomi dan anggaran itu masih dibutuhkan," katanya.
Ia justru mengkhawatirkan pembangunan ibu kota baru dengan menggunakan kas negara dapat menimbulkan persoalan baru. Pasalnya, anggaran negara yang terbatas tentu akan memaksa pemerintah mengurangi pos belanja di bidang tertentu dan menambah biaya untuk pembangunan ibu kota baru.
"Ketika ruang belanja sangat padat, mana yang prioritas, pasti ada yang ditambah dan ada yang dikurangi. Masalahnya kalau yang dikurangi itu yang esensial dan besar kemungkinan anggaran akan lebih besar untuk IKN, ini justru akan jadi isu baru," ucapnya.
Di lain sisi, Yusuf berharap pemerintah dapat menggaet investor asing. Hal ini dikarenakan, menurutnya, pembangunan ibu kota baru tidak akan menarik bagi skema KPBU. "Justru harapannya akan banyak kesana (investasi), skema KPBU tidak menarik untuk dijalankan," katanya.
Yusuf menilai masih ada pos pendanaan lain yang bisa digunakan untuk pembangunan IKN. Pos pendanaan tersebut dapat datang dari Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia Investment Authority (INA) yang bisa menjadi alternatif bagi investor untuk menanamkan modalnya secara langsung bagi pembangunan ibu kota baru.
Namun demikian, ia tidak berharap banyak dengan investasi yang datang dari luar negeri sebelum investasi tersebut terbukti keberadaannya dan dapat direalisasikan dengan baik, bukan sekedar janji belaka.