Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi kinerja industri jasa keuangan pada 2022 akan semakin membaik ketimbang 2021. Hal ini tak lepas dari terjaganya stabilitas sektor keuangan, berbagai kebijakan, sampai laju perekonomian yang mulai pulih selama pandemi Covid-19.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso menjelaskan, prediksi itu didasari dari proyeksi OJK pada 2022. Wimboh mengatakan, kinerja sektor perbankan pada 2022 diproyeksi tumbuh lebih pesat dibanding dengan realisasi tahun 2021.
OJK memproyeksikan pada tahun ini kredit perbankan tumbuh di kisaran 7,5 persen. Proyeksi itu dibuat dengan mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2022 di kisaran 5,2 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami memproyeksikan di 2022 akan lebih baik dari tahun lalu. Sehingga kredit kami prediksikan akan tumbuh pada kisaran 7,5 persen plus minus 1 persen," kata Wimboh dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) dan Peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia, Kamis (20/1).
Menurutnya, pertumbuhan kredit nasional bergantung kepada mobilitas masyarakat. Dengan semakin cepatnya mobilitas masyarakat, konsumsi masyarakat turut terkerek, sehingga pada akhirnya meningkatkan kredit.
Kemudian, OJK juga memprediksi penghimpunan dana pihak (DPK) perbankan tahun ini bakal tumbuh di kisaran 10 persen.
OJK juga memperkirakan penghimpunan dana di pasar modal akan meningkat di kisaran Rp125 triliun sampai Rp175 triliun. Sedangkan piutang pembiayaan dan perusahaan pembiayaan akan tumbuh sekitar 12 persen.
Lalu Aset perusahaan asuransi jiwa serta aset perusahaan asuransi umum dan reasuransi diperkirakan tumbuh 4,66 persen dan 3,14 persen. Sementara, pertumbuhan aset dana pensiun akan mencapai 6,47 persen.
"Namun dalam situasi pandemi Covid-19 ini kita masih mempunyai PR, yaitu restrukturisasi kredit dalam rangka Covid yang jumlahnya sudah semakin menurun, yaitu Rp693,6 triliun," ujarnya.
Meskipun nilai restrukturisasi kredit Covid-19 terus menurun, Wimboh meminta kepada perbankan untuk tetap melakukan pencadangan. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi adanya cliff effect ketika kebijakan restrukturisasi kredit berakhir pada 2023.
"Ini akan terus kami minta untuk lebih cepat lagi membentuk pencadangan," ucap Wimboh.
(osc)