Lelah, begitulah rasa yang dialami Purwanti setiap mau berangkat maupun pulang kerja. Maklum, rumahnya berada di Serpong, jauh dari kantornya yang berada di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Untuk menuju ke kantor, ia harus gonta ganti kendaraan paling tidak sampai 3 kali. Pertama, naik motor dari rumahnya ke Stasiun Serpong selama sekitar 15-20 menit. Kedua, naik kereta dari Stasiun Serpong ke Stasiun Kebayoran Lama.
Ketiga, naik Bus Transjakarta baru bisa sampai ke kantor. Waktu untuk menempuh jarak itu lebih dari 1 jam. Sedangkan ongkos plus parkir Rp20 ribu untuk pulang pergi. Perjalanan sama juga ia lakoni di dua kantor sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :EDUKASI KEUANGAN Kiat Siapkan Dana untuk Beli Hunian TOD bagi Milenial |
"Bukan main memang. Seperti Ninja Hatori, kalau Ninja Hatori, mendaki gunung lewati lembah, kalau aku naik motor, turun di stasiun, naik kereta, turun kebayoran lama, jalan kaki ke Velbak, naik Transjakarta, jalan ke kantor baru sampai," ceritanya kepada CNNIndonesia.com pekan ini.
Karena lelah itu, Purwanti mengajak suaminya untuk mencari hunian baru guna mendukung pergerakannya sebagai pekerja yang masih mendambakan penghasilan dari Jakarta. Pilihan hunian yang ia lirik belakangan adalah yang berkonsep Transit Oriented Development (TOD).
Ia menilai hunian model ini yang bakal menjadi model rumah nyaman bagi pekerja sepertinya termasuk di masa depan. Pasalnya, konsep hunian jenis ini menawarkan banyak kemudahan bagi pekerja yang memiliki mobilitas tinggi sepertinya untuk mengakses transportasi umum yang murah dan nyaman seperti KRL, Commuter Line, Light Rail Transit (LRT) dan MRT sehingga bisa sampai tempat kerja dengan efisien.
"Pilihan paling realistis bagi aku yang masih mengandalkan kerja di Jakarta dan sulit punya rumah di pusat kota yang dekat kantor itu ya model TOD. Karena kalau model seperti itu, akses transportasi, misal pakai KRL agak murah dan pergerakannya cepat," katanya.
Untuk mendapat hunian model itu, ia hunting. Pilihan yang ia sempat lirik adalah rumah susun sederhana milik (Rusunami) berkonsep TOD di Pondok China yang pembangunannya diresmikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Menteri BUMN Kabinet Kerja Rini Soemarno dan Dirut Perumnas Bambang Triwibowo pada 2017 lalu.
Ia sudah mendapat Nomor Urut Pemesanan (NUP) dan bayar uang muka Rp1 juta supaya bisa bisa memilikinya. TOD Depok ia pilih dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya, dekat dengan kampus UI dan dekat dengan jalur kereta.
"Jadi kalau ada pekerjaan yang mendekat ke Depok bisa ditinggali, kalau pun gak, aku kan sekarang punya rumah sendiri, paling tidak bisa buat investasi yang mendatangkan penghasilan berulang karena pikiranku bisa disewakan ke anak kuliah," katanya.
Namun, setahun kemudian pikirannya berubah. Ia berfikir mencari hunian berkonsep TOD di dekat daerahnya. Kawasan yang ia lirik adalah TOD Maja. Kawasan ini dikembangkan oleh Grup Ciputra melalui anak usahanya Citra Maja Raya. Lirikan lain, TOD Kota Podomoro Tenjo.
Ia mengatakan masih hitung-hitungan dengan suami soal uang yang akan dipakai jika keputusan mengambil hunian TOD di kawasan itu jadi diambil.
"Pengamatanku sepertinya nyaman dan prospeknya juga cerah. Maka doain saja jadi," katanya.
Director Head of Research and Consultancy Savills Anton Sitorus mengatakan ekosistem perumahan atau hunian yang diinginkan oleh pekerja yang tinggal di kawasan Jakarta dan sekitarnya seperti Purwanti memang tepat. Pasalnya, dari sisi jumlah penduduk, Jakarta dan beberapa daerah penyangganya, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi terbilang padat.
Berdasarkan data BPS sampai dengan September 2020, penduduk Jakarta mencapai 10,56 juta jiwa, Bogor 5,4 juta, Depok 2,41 juta, Tangerang 1,89 juta, dan Bekasi 2,54 juta. Tak hanya padat, Anton mengatakan Jabodetabek dihantui oleh masalah kemacetan yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pernah mengungkap kerugian ekonomi akibat pemborosan BBM hingga hilangnya produktivitas masyarakat yang dipicu kemacetan itu mencapai Rp71,4 triliun per tahun. Ia meyakini ekosistem hunian berkonsep TOD bisa mengatasi masalah-masalah itu.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan bisa dikurang, produktivitas masyarakat meningkat, kualitas hubungan sosial dan ekonomi baik dengan anggota keluarga, maupun masyarakat sekitarnya juga ia yakini bisa meningkat. Pasalnya, melalui ekosistem perumahan seperti itu, area hunian, perkantoran, tempat rekreasi, pusat perbelanjaan terintegrasi dalam sarana transportasi publik yang saling terhubung satu dengan yang lain.
"TOD ini memang ekosistem perumahan paling the best untuk perkotaan sekarang ini dan mungkin sampai beberapa tahun ke depan. Sudah terbukti karena perkotaan itu pasti penduduk pacat, macet di mana-mana. Kalau di daerah kota kecil atau pinggiran, ekosistem yang ideal dan dominan ya masih rumah tapak," katanya.
Segendang sepenarian dengan Anton, Pengamat Properti Colliers Indonesia Ferry Salanto dan Senior Associate Director Colliers Aldi Garibadi mengatakan tinggal di ekosistem hunian berkonsep TOD memang menawarkan banyak keunggulan. Salah satunya soal lokasi hunian TOD yang dekat dengan sarana transportasi massal.
Itu tentunya akan sangat memudahkan bagi masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi, apalagi milenial. Tak hanya memudahkan, tinggal di kawasan TOD juga bisa mendatangkan penghematan dari sisi ongkos jalan.
"Kalau di Indonesia, di kota besar, dan masyarakatnya pergerakannya aktif, memang ideal," katanya.
Penghematan
Aldi menambahkan penghematan ongkos jalan dengan tinggal di kawasan TOD itu bisa didapat dari beberapa sumber. Pertama, cicilan kredit kendaraan.
Menurutnya, dengan tinggal di kawasan TOD, masyarakat tidak perlu lagi harus dipusingkan dengan keinginan untuk memiliki kendaraan pribadi baik motor maupun mobil.
Pasalnya, semua pergerakan mereka sudah dimudahkan oleh keberadaan sarana transportasi publik. Nah katanya, penghematan dari cicilan kendaraan itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti membayar tabungan, biaya pendidikan anak maupun memenuhi kebutuhan hidup yang lain.
"Bayangkan misal kalau cicilan untuk motor Rp1 juta sampai Rp2 juta per bulan," katanya.
Kedua, penghematan biaya parkir dan operasional kendaraan baik untuk BBM maupun perawatan. Ketiga, penghematan biaya penyusutan kendaraan.
Ia mengatakan nilai kendaraan pasti dari waktu ke waktu akan turun. Tidak mungkin katanya, kendaraan yang waktu baru dibeli dengan harga Rp35 juta kemudian dijual dalam keadaan bekas dengan harga lebih tinggi dari Rp35 juta.
"Pasti akan susut, entah jadi Rp27 juta, 25 juta atau bahkan lebih kecil lagi," katanya.
Penghematan ketiga, bisa didapat dari biaya bunga cicilan kendaraan. Ia mengatakan kredit kendaraan pasti disertai dengan bunga untuk jangka waktu tertentu. Ketika tinggal di kawasan hunian TOD dan karena itu masyarakatnya tidak kredit kendaraan, mereka akan terbebas dari biaya bunga. Dari situlah penghematan itu didapat.
"Jadi memang ideal TOD ini," katanya.