Menteri Keuangan Sri Mulyani dan bank sentral negara anggota G20 berkomitmen mengatasi perubahan iklim dan mendorong pemulihan ekonomi berkelanjutan.
Hal itu dicanangkan dalam pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20. Salah satu komitmen tersebut ditunjukkan dengan cara melakukan transisi energi yang juga menjadi fokus pembahasan Presidensi G20 Indonesia.
Melalui fokus ini, negara G20 mendorong peralihan penggunaan energi berbasis fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida menuju energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Pemerintah Indonesia sejak 2017 sudah melakukan transisi energi melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dalam rencana tersebut pemerintah menargetkan bauran energi nasional mencapai 23 persen pada 2025 dan diharapkan terus meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Sementara dari sisi keuangan, pemerintah juga akan memungut pajak karbon Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Pemungutan pajak akan dilakukan mulai 1 April 2022 yang didasarkan pada aturan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pungutan pajak tersebut akan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi atau cap and tax dengan tarif Rp30 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen untuk emisi yang melebihi batas yang telah ditetapkan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, mengatakan Indonesia menjadi salah satu negara pertama dengan kekuatan ekonomi baru (emerging) yang mengimplementasikan pajak karbon.
"Bahkan implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, antara lain Inggris, Jepang, dan Singapura," ungkap Febrio seperti dikutip dari Antara, Selasa (22/2).
Pajak karbon bertujuan mendorong masyarakat beralih kepada aktivitas ekonomi yang rendah karbon dan lebih ramah lingkungan, terutama dalam penggunaan energi.
Selanjutnya, pemerintah juga secara bertahap akan mengurangi jumlah PLTU berbasis batu bara.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas PLTU berbahan bakar batu bara di Indonesia mencapai 36,9 GW atau sekitar 50 persen dari total kapasitas pembangkit listrik yang sebesar 73,7 GW.
Mulai 2026 hingga 2030, pemerintah menyatakan tidak akan menambah proyek PLTU baru, kecuali yang sedang dibangun atau sudah dilakukan penandatanganan kontrak sebelumnya.
Kemudian, pada 2036 sampai 2040 Indonesia akan melanjutkan tahap kedua penghentian PLTU yang dilanjutkan pada 2051 sampai 2060 sebagai periode terakhir, sekaligus pengembangan hidrogen untuk listrik secara besar-besaran.
Sementara itu, guna mendukung lebih banyak proyek ramah lingkungan, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga meluncurkan taksonomi hijau dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan pada akhir Januari 2022 lalu.
Taksonomi hijau tersebut diharapkan dapat mempermudah industri Sektor Jasa Keuangan (SJK) mengklasifikasi kegiatan usaha hijau atau ramah lingkungan dan mengembangkan produk dan atau portofolio jasa keuangan yang ramah lingkungan.
Selain itu, taksonomi hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit, pembiayaan, serta investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).