Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pengenaan pajak karbon akan membuat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi mahal.
Hal ini otomatis akan mengerek tarif listrik yang diproduksi dari PLTU batu bara.
Luhut mengatakan pemerintah akan mengenakan tarif pajak karbon paling murah sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketentuan ini akan mengubah posisi PLTU dari pembangkit listrik paling murah menjadi pembangkit yang mahal," ungkap Luhut, dikutip dari Antara, Kamis (24/2).
Penerapan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid itu akan digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.
Aturan itu merupakan upaya pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Dalam tahap awal, pajak karbon akan diterapkan dengan mekanisme pajak berdasarkan batas emisi sektor PLTU batu bara pada 1 April 2022.
Sementara, kata Luhut, PLN menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) mencapai 52 persen pada 2030.
Dengan demikian, porsi energi hijau akan didominasi oleh pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 25,6 persen dalam 10 tahun ke depan.
Lalu, porsi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 11,5 persen. Kemudian, terbuka kemungkinan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) ikut mengambil posisi dalam bauran EBT di Indonesia.
Pemerintah, tambah Luhut, membuka kesempatan bagi swasta untuk berpartisipasi mengembangkan EBT di dalam negeri. Ia memperkirakan kepemilikan swasta akan mencapai 64 persen dari total pembangkit yang beroperasi pada 2030.
"Mulai 2031 tak ada lagi pemakaian pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan dimulainya penghentian pengoperasian PLTU secara bertahap dengan harapan pada 2060 sudah tidak lagi PLTU batu bara yang beroperasi," pungkas Luhut.
(aud/bir)