ANALISIS

Masalah Ekonomi Baru Intai Rusia Usai Dihukum Akibat Invasi Ukraina

CNN Indonesia
Rabu, 02 Mar 2022 07:46 WIB
Sejumlah masalah ekonomi baru mengintai akibat sanksi sejumlah negara terhadap Rusia terkait invasi yang mereka lakukan ke Ukraina. Ilustrasi. (AP/Pavel Golovkin).
Jakarta, CNN Indonesia --

Rusia resmi melancarkan invasi terhadap negara tetangganya Ukraina, tepatnya di wilayah timur negara itu yakni Donbas pada Kamis (24/2) lalu. Invasi tersebut dipimpin langsung oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.

Putin menjelaskan setidaknya terdapat dua alasan yang membuat dirinya mengambil keputusan non-populis tersebut. Pertama, ia mengaku masyarakat di wilayah Donbas meminta bantuan kepada Rusia.

Kedua, melindungi masyarakat Donbas yang menurutnya menjadi target 'pelecehan hingga genosida' dari pemerintah Ukraina. Konflik tersebut semakin memanas setelah Putin mengakui kedaulatan dua wilayah Ukraina yakni Donetsk dan Luhansk.

Tak tinggal diam, negara negara pro demokrasi mulai dari Amerika Serikat hingga perkumpulan negara di benua biru yakni Uni Eropa mengecam aksi tersebut. Amerika Serikat lantas langsung memberikan sanksi perdana dengan melarang Putin dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov untuk melakukan perjalan ke AS.

Sanksi ekonomi juga diterapkan dengan melarang perusahaan minyak bumi Rusia yakni Gazprom untuk mendapatkan pendanaan dari negara Barat. Kemudian, AS juga membatasi ekspor teknologi aeronautika ke Rusia.

Negara di Eropa seperti Jerman hingga Inggris juga melakukan hal serupa. Kanselir Jerman Olaf Scholz menghentikan sertifikasi gas Nord Stream yang menghubungkan antara Lubmin di Jerman dengan St. Pittsburg di Rusia.

Sementara itu, Inggris membekukan aset 5 perbankan kenamaan asal Rusia di Inggris. Setelah itu, Kementerian Keuangan Inggris menyatakan akan mengeluarkan sanksi keuangan Putin dan Lavrov dan melarang pesawat jet keduanya mendarat di Inggris.

Uni Eropa, persatuan negara di Eropa, juga tak ketinggalan menjatuhkan sanksi khusus terhadap Rusia. Chief European Commission Uni Eropa Ursula Von Der Leyen bahkan mengatakan sanksi tersebut belum pernah dikeluarkan sejak organisasi tersebut didirikan.

"Dengan paket sanksi ini, kami akan menargetkan sektor strategis yang dimiliki ekonomi Rusia dengan memblokir akses mereka terhadap teknologi dan pasar yang menjadi kunci ekonominya," kata Ursula seperti dikutip dari Reuters, Kamis (23/2).

Sanksi tersebut diklaim dapat membatasi akses keuangan Rusia terhadap aset-aset yang dimiliki di Eropa. Hal ini diperkirakan juga akan menaikkan inflasi negara terluas di dunia tersebut. Ia pun mengatakan sanksi termasuk penghentian akses material yang dibutuhkan sektor minyak bumi dan gas alam Rusia.

Lantas, apakah ekonomi Rusia rapuh usai dihantam sejumlah sanksi ekonomi dari berbagai negara di dunia?

Usai terkena sanksi itu, rubel sebagai mata uang resmi Rusia nilainya ambles pada Senin (28/2). mengutip Bloomberg, penurunan nilai rubel terus berlanjut secara dramatis menjadi 102,90 rubel per dolar AS pada Selasa (1/3) sore.

Hal ini disebabkan oleh banyaknya sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara di dunia merespons aksi militer Rusia. Padahal, nilai rubel masih menyentuh 84,95 rubel per dolar AS pada saat Putin mendeklarasikan invasi ke Ukraina.

Bahkan, nilainya masih lebih tinggi dibandingkan beberapa pekan sebelum invasi yakni di kisaran 76,73 hingga 78,84 rubel per dolar AS. Analis Rabobank memperingatkan kepada bursa saham Moskow terhadap ancaman sanksi yang dapat menghantui cadangan mata uang negara tersebut.

Sanksi juga dapat melemahkan rubel lantaran dinilai tidak bisa digunakan sebagai alat perdagangan dengan mata uang asing lainnya.

"Bahkan emas tidak likuid jika tidak ada yang bisa menggunakan mata uang asing sebagai gantinya. Akan ada keruntuhan total pada rubel hari ini," tulis Rabobank dikutip dari Reuters, Selasa (1/3),

Kepala Strategi Mata Uang Asing di National Australia Bank Ray Attrill mengatakan jatuhnya nilai mata uang Rusia tidak mungkin dapat dielakkan.

"Runtuhnya rubel tampaknya tidak dapat dihindari pada Senin pagi. Ada peningkatan risiko default atas utang Rusia sebagai akibat dari perkembangan akhir pekan lalu," kata Ray.

Kejatuhan rubel tentu akan menyebabkan masalah ekonomi global baru bermunculan. Masalah mulai dari kenaikan suku bunga bank sentral Rusia hingga mahalnya harganya komoditas mineral seperti minyak bumi dan gas alam. Pasalnya, kedua komoditas tersebut menjadi andalan ekspor Rusia dan memasok sebagian besar kebutuhan mineral global.

Terkait suku bunga, Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira Nabiullina mengatakan pihaknya menaikkan suku bunga acuan dari 9,5 persen menjadi 20 persen. Hal ini dilakukan lantaran sanksi banyak negara mengakibatkan terbatasnya ruang gerak Rusia untuk menggunakan cadangan emas dan valuta asingnya.

Terkait harga komoditas, Kepala Investasi Locko Invest Dmitry Polevoy memperkirakan eksportir Rusia dapat menawarkan US$44 miliar-US$48 miliar per bulan untuk mendukung rubel asalkan harga minyak masih stabil dan tidak ada sanksi terhadap ekspor energi.

"Ini terlihat cukup untuk menstabilkan pasar dalam beberapa minggu ke depan," kata Dmitry.

Sebagai informasi, saat ini harga minyak mentah WTI naik 4,49 persen dan dihargai US$100,45 per barel. Sementara itu, minyak Brent naik lebih tinggi sebesar 5,19 persen dan dihargai sebesar US$103,16 per barel.

Rusia Ditendang dari SWIFT dan Bekukan Aset


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :