Jakarta, CNN Indonesia --
Belum usai masalah kelangkaan minyak goreng masyarakat harus kembali dihadapkan pada masalah baru. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) Solar dikabarkan menipis di sejumlah daerah.
Provinsi Bengkulu misalnya, sang gubernur berniat untuk mengajukan penambahan kuota subsidi Solar kepada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Ini dilakukan karena pasokan solar di Bengkulu tak stabil hingga menimbulkan antrean yang panjang.
"Pemerintah daerah mengajukan penambahan kuota BBM subsidi jenis solar agar tidak ada antrean panjang kendaraan di beberapa SPBU," kata Gubernur Bengkulu Rohidin, seperti dikutip dari Antara, Senin (28/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa telah dilakukan oleh Gubernur Riau Syamsuar. Ia telah melayangkan surat kepada BPH Migas untuk menambah kuota subsidi biosolar hingga 884 ribu kiloliter.
"Kami sudah sampaikan melalui surat bernomor 541/DESDM-02/765 karena adanya kelangkaan BBM biosolar di Riau dan merujuk pada Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak," kata Syamsuar.
Kota Palembang di Sumatera Selatan juga mengalami kelangkaan Solar. Salah seorang petugas SPBU mengaku kelangkaan tersebut terjadi akibat pasokan Solar yang hanya tersedia 16 ton per hari. Padahal, kapasitas normalnya mencapai 30 ton per hari.
Antrean truk muatan barang dan logistik yang berjejer hingga 2 kilometer juga menjadi pemandangan baru di salah satu SPBU di Kabupaten Batubara, Sumatera Selatan. Para sopir truk bahkan mengaku harus mengantre hingga seharian penuh hanya untuk memenuhi tangki bahan bakarnya.
Pengelola SPBU mengatakan bahwa kelangkaan terjadi akibat adanya pengurangan jatah subsidi Solar yang mencapai 50 persen dari total kapasitas yang ada.
"Sudah 7 hari. Kalau stoknya masih banyak, kami sesuaikan dengan tangki kendaraan yang mengisi," kata Manajer SPBU di Batubara Indra, dikutip dari CNN Indonesia TV.
Menanggapi hal tersebut, perusahaan pelat merah angkat bicara. PT Pertamina Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar, mengungkapkan bahwa kelangkaan Solar terjadi akibat meningkatnya permintaan.
"Memang, ada peningkatan permintaan (BBM Solar) seiring dengan pertumbuhan ekonomi," ujar Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/3).
Ia pun memastikan bahwa stok bahan bakar Solar aman untuk 20 hari ke depan dan penyalurannya akan dilakukan sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan pemerintah.
Untuk mengantisipasi kelangkaan, Irto mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan normalisasi terhadap permintaan Solar dengan merealisasikan subsidi hingga lebih dari 10 persen dari kuota yang ditetapkan.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menduga kelangkaan Solar bersubsidi terjadi karena penyelewengan BBM oleh industri besar sawit dan pertambangan.
Ia menyebut porsi penjualan Solar bersubsidi mencapai 93 persen, sedangkan 7 persen lainnya Solar non subsidi. Dengan begitu, pihaknya dan aparat penegak hukum akan memastikan aliran bahan bakar Solar subsidi tersebut mengalir kemana.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan bahwa kelangkaan bahan bakar Solar dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya penyelewengan yang dilakukan oleh oknum tertentu.
"Selisih harga BBM umum dengan subsidi itu kan besar, karena itu bisa saja banyak penyelewengan dengan penyelundupan atau penjualan Solar subsidi ke sektor industri, jadi selisih itu yang memicu maraknya penyelewengan," kata Marwan kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/3).
Sebagai catatan, bahan bakar Solar subsidi saat ini dibanderol Rp5.150 per liter. Sementara, harga BBM diesel non subsidi yakni Dexlite antara Rp12.150 hingga Rp12.650 per liter.
Selisih harga yang terlalu jauh memungkinkan penyelewengan Solar dilakukan oleh oknum tertentu. Ia bahkan tak segan menyatakan bahwa mungkin saja terdapat oknum aparat yang terlibat dalam pengamanan penyelewengan solar tersebut.
"Kalau selisihnya seribu dua ribu ya enggak ada yang mau, selisihnya dua kali lipat lebih siapa yang enggak mau. Kalau pemerintah tidak peduli untuk amankan, ya ini akan terus terjadi, korbannya masyarakat. Malah mungkin banyak aparat yang ikut mengambil kesempatan mengawal kejahatan penyelewengan termasuk penyelundupan," ucapnya.
Subsidi Mepet
Selain dugaan penyelewengan, ia menambahkan bahwa kelangkaan solar terjadi lantaran kuota subsidi dikurangi karena anggaran negara yang terbatas.
Pasalnya, kenaikan harga energi dunia yang melambung akibat perang tentu turut membebani anggaran negara demi memberikan subsidi bahan bakar.
Di lain sisi, Marwan tidak yakin kelangkaan Solar diakibatkan program Euro 4 yang akan berlaku mulai 12 April mendatang, sebab program tersebut dinilai tak memberi pengaruh signifikan yang terhadap pasokan.
"Itu bisa saja, tapi hanya sekian persen andilnya jadi sangat kecil dan bukan itu yang utama. Yang utama adalah selisih harga keekonomian dan harga jual sangat besar kemudian anggaran subsidi APBN terbatas ditambah dugaan penyelewengan. Ini masalahnya," ucapnya.
Berbeda, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan bahwa kelangkaan bahan bakar terjadi bukan karena harga minyak mentah dunia naik, tetapi lantaran kuota subsidi yang telah ditetapkan pemerintah sudah mencapai batas atas untuk setiap bulan.
"Kelangkaan terjadi di beberapa daerah saja kan, bukan nasional. Nah, itu terjadi karena kuota subsidi daerah terkait habis, toh Solar non subsidi kan aman enggak ada masalah. Kalo langka di beberapa provinsi itu, ya BPH Migas awasi dong dan ini kan sudah diperkirakan dari tahun lalu," tegasnya.
Menurutnya, setiap tahun pemerintah bersama DPR telah menetapkan subsidi Solar. Hingga akhir tahun ini saja, subsidi Solar telah disepakati dengan jumlah 15,1 juta kiloliter untuk kebutuhan 34 provinsi.
Dengan demikian, wajar saja apabila terjadi kelangkaan Solar di beberapa daerah. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah bersama DPR lebih fleksibel dalam membuat aturan subsidi Solar.
Apabila satu daerah yang mengalami kelangkaan pasokan Solar, maka daerah tersebut perlu diberikan subsidi tambahan dari kuartal berikutnya. Namun, Pertamina tentu tidak akan melakukan ini sebelum pemerintah dan DPR melakukan revisi atas aturan subsidi Solar.
"Ini kan masih awal tahun, seharusnya kuotanya masih banyak dan atur saja pemerintah, DPR, BPH Migas, dan Pertamina, tinggal direvisi saja kuotanya. Misalnya kuota untuk kuartal depan itu diganti untuk sekarang, tapi ya harus diganti dulu aturannya, kalau enggak ya Pertamina kena audit nanti," ucapnya.
Namun, Fabby tak menampik adanya dugaan penyelewengan Solar bersubsidi yang dilakukan oleh sejumlah oknum nakal.
Karenanya, Fabby menegaskan bahwa apabila pemerintah telah mencium indikasi penyelewengan tersebut maka harus ditindak tegas, bukan hanya pengumuman belaka.
"Indikasi penimbunan bisa saja, dibeli banyak oleh kendaraan tapi malah tidak disalurkan ke SPBU alias disunat. Kalau ada kayak gitu diselidiki dong, apakah penimbunan atau tidak ada, karena ini kan pelanggaran hukum. Jadi kita gak bisa toleransi penimbun karena ini merugikan rakyat," katanya.
[Gambas:Video CNN]