ANALISIS

Mencari Biang Kerok Solar Langka

CNN Indonesia
Selasa, 29 Mar 2022 07:00 WIB
Pengamat menduga kelangkaan Solar yang terjadi di sejumlah daerah lantaran penyelewengan oknum hingga subsidi yang terbatas. Berikut ulasannya.
Pengamat menduga kelangkaan Solar yang terjadi di sejumlah daerah lantaran penyelewengan oknum hingga subsidi yang terbatas. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah).

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan bahwa kelangkaan bahan bakar Solar dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya penyelewengan yang dilakukan oleh oknum tertentu.

"Selisih harga BBM umum dengan subsidi itu kan besar, karena itu bisa saja banyak penyelewengan dengan penyelundupan atau penjualan Solar subsidi ke sektor industri, jadi selisih itu yang memicu maraknya penyelewengan," kata Marwan kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/3).

Sebagai catatan, bahan bakar Solar subsidi saat ini dibanderol Rp5.150 per liter. Sementara, harga BBM diesel non subsidi yakni Dexlite antara Rp12.150 hingga Rp12.650 per liter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selisih harga yang terlalu jauh memungkinkan penyelewengan Solar dilakukan oleh oknum tertentu. Ia bahkan tak segan menyatakan bahwa mungkin saja terdapat oknum aparat yang terlibat dalam pengamanan penyelewengan solar tersebut.

"Kalau selisihnya seribu dua ribu ya enggak ada yang mau, selisihnya dua kali lipat lebih siapa yang enggak mau. Kalau pemerintah tidak peduli untuk amankan, ya ini akan terus terjadi, korbannya masyarakat. Malah mungkin banyak aparat yang ikut mengambil kesempatan mengawal kejahatan penyelewengan termasuk penyelundupan," ucapnya.

Subsidi Mepet

Selain dugaan penyelewengan, ia menambahkan bahwa kelangkaan solar terjadi lantaran kuota subsidi dikurangi karena anggaran negara yang terbatas.

Pasalnya, kenaikan harga energi dunia yang melambung akibat perang tentu turut membebani anggaran negara demi memberikan subsidi bahan bakar.

Di lain sisi, Marwan tidak yakin kelangkaan Solar diakibatkan program Euro 4 yang akan berlaku mulai 12 April mendatang, sebab program tersebut dinilai tak memberi pengaruh signifikan yang terhadap pasokan.

"Itu bisa saja, tapi hanya sekian persen andilnya jadi sangat kecil dan bukan itu yang utama. Yang utama adalah selisih harga keekonomian dan harga jual sangat besar kemudian anggaran subsidi APBN terbatas ditambah dugaan penyelewengan. Ini masalahnya," ucapnya.

Berbeda, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan bahwa kelangkaan bahan bakar terjadi bukan karena harga minyak mentah dunia naik, tetapi lantaran kuota subsidi yang telah ditetapkan pemerintah sudah mencapai batas atas untuk setiap bulan.

"Kelangkaan terjadi di beberapa daerah saja kan, bukan nasional. Nah, itu terjadi karena kuota subsidi daerah terkait habis, toh Solar non subsidi kan aman enggak ada masalah. Kalo langka di beberapa provinsi itu, ya BPH Migas awasi dong dan ini kan sudah diperkirakan dari tahun lalu," tegasnya.

Menurutnya, setiap tahun pemerintah bersama DPR telah menetapkan subsidi Solar. Hingga akhir tahun ini saja, subsidi Solar telah disepakati dengan jumlah 15,1 juta kiloliter untuk kebutuhan 34 provinsi.

Dengan demikian, wajar saja apabila terjadi kelangkaan Solar di beberapa daerah. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah bersama DPR lebih fleksibel dalam membuat aturan subsidi Solar.

Apabila satu daerah yang mengalami kelangkaan pasokan Solar, maka daerah tersebut perlu diberikan subsidi tambahan dari kuartal berikutnya. Namun, Pertamina tentu tidak akan melakukan ini sebelum pemerintah dan DPR melakukan revisi atas aturan subsidi Solar.

"Ini kan masih awal tahun, seharusnya kuotanya masih banyak dan atur saja pemerintah, DPR, BPH Migas, dan Pertamina, tinggal direvisi saja kuotanya. Misalnya kuota untuk kuartal depan itu diganti untuk sekarang, tapi ya harus diganti dulu aturannya, kalau enggak ya Pertamina kena audit nanti," ucapnya.

Namun, Fabby tak menampik adanya dugaan penyelewengan Solar bersubsidi yang dilakukan oleh sejumlah oknum nakal.

Karenanya, Fabby menegaskan bahwa apabila pemerintah telah mencium indikasi penyelewengan tersebut maka harus ditindak tegas, bukan hanya pengumuman belaka.

"Indikasi penimbunan bisa saja, dibeli banyak oleh kendaraan tapi malah tidak disalurkan ke SPBU alias disunat. Kalau ada kayak gitu diselidiki dong, apakah penimbunan atau tidak ada, karena ini kan pelanggaran hukum. Jadi kita gak bisa toleransi penimbun karena ini merugikan rakyat," katanya.



(fry/sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER