Harga Batu Bara Acuan Juli Turun ke US$319 per Ton
Harga Batu bara Acuan (HBA) turun ke US$319 per ton pada Juli 2022. Angka tersebut turun US$4,91 per ton dari bulan sebelumnya, yaitu US$323,91 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan penurunan itu merupakan kali terakhir dalam enam bulan terakhir.
Pada Januari 2022, HBA ditetapkan sebesar US$158,50 per ton, naik ke US$188,38 per ton di Februari. Selanjutnya, pada Maret menyentuh angka US$203,69 per ton, April sebesar US$288,40 per ton, Mei US$275,64 per ton, dan terakhir pada Juni US$323,91 per ton.
Agung juga mengatakan faktor lain dari penurunan HBA Juli adalah meningkatnya produksi batu bara domestik India untuk mengatasi persoalan krisis listrik di negara mereka.
Di sisi lain, ia menuturkan murahnya harga batu bara asal Rusia membuat permintaan impor batu bara ke Tiongkok dan India mengalami peningkatan signifikan.
"Ada diskon khusus batu bara yang berasal dari Rusia. Diskon ini membuat Tiongkok dan India meningkatkan kapasitas impor mereka," kata Agung melalui keterangan resmi, Jumat (1/7).
Ia menambahkan, ketertarikan Tiongkok dan India melakukan impor batu bara dari Rusia dikarenakan harga batu bara global yang mulai merangkak naik akibat kelangkaan pasokan dan harga gas alam cair yang semakin mahal.
HBA sendiri merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal per kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 peren, dan Ash 15 persen.
Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA, yaitu supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh cuaca, teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.