Di sisi lain, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi memandang Indonesia masih jauh dari ancaman resesi.
Indonesia, kata Faisal, masih punya banyak amunisi agar tetap berada di zona hijau. Salah satunya neraca dagang atau kegiatan ekspor-impor.
BPS mencatat neraca dagang RI surplus US$2,9 miliar pada Mei 2022. Hal ini karena ekspor lebih tinggi dibandingkan ekspor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rinciannya, ekspor tembus US$21,5 miliar, sedangkan impor hanya US$18,61 miliar pada Mei 2022.
"Surplus (neraca dagang) terjaga, ini menjadi bantalan ekonomi," tutur Fithra.
Kegiatan ekspor dan impor memang masuk dalam indikator perhitungan pertumbuhan ekonomi di RI. Jadi, naik atau turunnya ekspor-impor akan mempengaruhi ekonomi domestik.
Namun, kontribusi ekspor-impor pada pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibandingkan konsumsi masyarakat. Porsinya tak sampai 50 persen.
Sementara, Fithra mengatakan tak perlu terlalu khawatir dengan inflasi. Pasalnya, ia justru menilai lonjakan inflasi terjadi bukan karena pasokan yang menipis, melainkan jumlah permintaan naik.
"Untuk Indonesia, dari sisi input produksi masih oversupply, artinya tekanan inflasi itu lebih karena didominasi tarikan demand. Makanya ekonomi masih tumbuh baik meski ada inflasi," ungkap Fithra.
Situasi ini berbeda dengan negara lain, di mana pasokan barang mulai terbatas. Dengan demikian, harga naik dan membuat inflasi melonjak.
Kenaikan harga itulah yang akhirnya membuat daya beli masyarakat melemah dan konsumsi menurun. Dengan demikian efeknya buruk untuk pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
"Kalau negara lain input terbatas, akibatnya mereka harus impor dan terpapar harga internasional yang lagi tinggi," terang Fithra.
Kendati Indonesia masih dipandang positif, ia mengingatkan pemerintah tak ongkang-ongkang kaki. Sebab, Fithra melihat pasokan pangan dan energi akan menipis dalam waktu dekat.
Untuk itu, pemerintah harus menggelontorkan banyak subsidi untuk menahan kenaikan harga. Namun, ia sadar APBN sangat terbatas.
Jalan tengahnya, pemerintah harus memberikan subsidi secara tepat dengan skema tertutup. Artinya, subsidi diberikan langsung kepada masyarakat yang berhak.
"Yang susah subsidi BBM, lebih baik seperti bansos, bantuan langsung tunai, itu jelas spesifik by name by address, betul-betul diberikan kepada yang membutuhkan dan dampaknya signifikan," tutup Fithra.