Mengenal Abenomics yang Mengguncang Jepang, Warisan Shinzo Abe

CNN Indonesia
Jumat, 08 Jul 2022 16:03 WIB
Eks PM Jepang Shinzo Abe ditembak oleh orang tak dikenal saat menyampaikan pidato kampanye di Nara. Semasa menjabat ia meluncurkan kebijakan ekonomi, Abenomics.
Eks PM Jepang Shinzo Abe ditembak oleh orang tak dikenal saat menyampaikan pidato kampanye di Nara. Semasa menjabat ia meluncurkan kebijakan ekonomi, Abenomics. (REUTERS/Jorge Silva).
Jakarta, CNN Indonesia --

Eks Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dilaporkan tertembak saat menyampaikan pidato di jalanan Kota Nara, barat Jepang, pada Jumat (8/7).

Penembakan terjadi ketika Abe menyampaikan pidato kampanye seorang kandidat pemilu dari partainya, Demokrat Liberal.

Mengutip Reuters, Abe dikenal sebagai perdana menteri terlama di Jepang. Ia menjabat sebagai perdana menteri pada 2006 dan resign setahun setelahnya, pada 2007.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lima tahun kemudian, 2012, ia kembali menjadi perdana menteri Jepang dan berjanji untuk menghidupkan kembali ekonomi yang stagnan, melonggarkan batasan konstitusi pasifis pasca-Perang Dunia Kedua dan mengembalikan nilai-nilai tradisional.

Shinzo Abe meluncurkan kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai Abenomics untuk mengembalikan ekonomi Jepang dan mengalahkan deflasi yang terus menerus terjadi.

Paket kebijakan ini terdiri dari kebijakan moneter, fiskal, dan reformasi struktural.

Laporan CNNIndonesia.com mencatat, berbagai inisiatif dikeluarkan dari mulai penambahan anggaran infrastruktur publik hingga devaluasi mata uang yen.

Dalam kebijakan moneter, Abe membuat kesepakatan dengan Bank of Japan. Dalam kesepakatan itu, bank sentral menerapkan kebijakan pelonggaran moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya pinjaman, merangsang aktivitas bisnis dan konsumsi pribadi, dan mendorong inflasi hingga dua persen untuk mengakhiri deflasi yang menghantui ekonomi Jepang sejak 1990-an.

Kebijakan BoJ membantu memperkuat daya saing eksportir Jepang dengan melemahkan yen. Perekonomian Jepang pun secara bertahap pulih dan harga perlahan-lahan meningkat.

Sayangnya, target inflasi tetap berada di luar jangkauan. Kinerja ekonomi pun masih jauh dari harapan.

Upaya BoJ dipasangkan dengan stimulus dalam bentuk belanja pemerintah besar-besaran. Ini merupakan kebijakan kedua dari tiga kebijakan Abenomics.

Ratusan miliar dolar dihabiskan sejak 2013, terutama untuk modernisasi infrastruktur di seluruh negeri, beberapa di antaranya untuk Olimpiade Tokyo 2020.

Pengeluaran tersebut meningkatkan pendapatan dan investasi untuk bisnis, merangsang pasar keuangan dan real estat dan membantu mendukung pertumbuhan negara selama beberapa tahun.

Tetapi itu tidak menghentikan ekonomi nasional beberapa kali tergelincir. PDB berkontraksi antara 2014-2015 sebelum pulih.

Dengan populasi masyarakat usia tua yang besar, Jepang memiliki kecenderungan menabung daripada konsumsi. Hal tersebut yang membuat konsumsi tetap rendah.

Pengeluaran terpukul lebih jauh oleh dua kenaikan pajak konsumsi, pada 2014 dan 2019.

Strategi Abe untuk memulihkan ekonomi Jepang justru makin parah pada 2019 akibat kenaikan pajak penjualan dan perang perdagangan China-AS.

Wabah covid-19 pada tahun berikutnya memicu kemerosotan ekonomi terbesar di Jepang. Ini karena Abe lambat dalam menutup perbatasan Jepang dan menerapkan keadaan darurat yang mendesak warganya untuk tetap tinggal di rumah dan menutup pertokoan.

Meski demikian, dibandingkan dengan negara lainnya, tingkat kematian akibat covid-19 di Jepang relatif lebih rendah.

Kebijakan ketiga dalam Abenomics adalah reformasi struktural. Sasaran utamanya adalah pasar tenaga kerja Jepang.

Tetapi para ahli mengungkap upaya untuk membalikkan model klasifikasi dan mempromosikan fleksibilitas dalam tenaga kerja bergerak terlalu lambat.

"Awalnya kami mengira pemerintah mengulur waktu dengan pelonggaran moneter dan kebijakan fiskal, untuk mempersiapkan reformasi struktural yang menyakitkan," kata Ekonom UBS Masamichi Adachi.

Sejumlah ekonom, termasuk Profesor di fakultas manajemen kebijakan Universitas Keio dan mantan anggota dewan kebijakan BoJ Sayuri Shirai melihat ada beberapa titik terang, termasuk peningkatan jumlah wanita dan orang tua di tempat kerja.

Selain itu, beberapa pelonggaran kebijakan imigrasi yang ketat di negara itu, yang dapat membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja kronis.

"Tetapi banyak reformasi tidak cukup berani untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja," kata Shirai.

Shirai menambahkan pandemi telah membuat kondisi tak hanya rentan pada sektor korporasi Jepang tetapi juga layanan publik elektronik yang tidak memadai dan lambatnya implementasi kebijakan pemerintah.

[Gambas:Video CNN]



(dzu/agt)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER