Laporan terbaru International Institute for Sustainable Development (IISD) menyatakan Brasil, Rusia, India, Indonesia, China, dan Afrika Selatan (BRIICS) akan mengalami kesenjangan pendapatan hingga US$278 miliar pada 2030 jika tidak menyesuaikan kebijakan fiskal terhadap bahan bakar fosil.
Laporan itu menyebut negara BRIICS memiliki ketergantungan besar pada pendapatan bahan bakar fosil. Sementara prospek ekonomi ke depan untuk bahan bakar fosil akan semakin suram menyusul transisi ke energi baru terbarukan (EBT) demi membatasi pemanasan global 1,5 derajat celsius.
Kesenjangan terbesar diperkirakan terjadi di India yang mencapai US$178 miliar, disusul China sebesar US$140 miliar, dan Rusia US$134 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian ini juga menemukan bahwa di 2050 pendapatan dari bahan bakar fosil secara keseluruhan di negara-negara BRIICS hanya mencapai US$570 miliar. Angka ini lebih rendah pendapatan normal negara-negara tersebut.
Senior Associate IISD Tara Laan yang merupakan penulis utama laporan ini mengatakan untuk mencegah perubahan iklim, seluruh negara di dunia menghentikan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil. Hal itu berarti akan mengikis pendapatan negara dari bahan bakar fosil.
"Mereka harus merencanakan ke depan untuk menghindari kekurangan pendapatan publik yang dapat membalikkan kemajuan dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi," kata dia seperti dikutip dari keterangan resmi, Jumat (8/7).
Menurut Laan, perencanaan ekonomi ini dapat dilakukan dengan cara yang positif terhadap iklim dan progresif secara sosial. Contohnya dengan menghapus subsidi dari bahan bakar fosil dengan cara yang tidak merugikan orang miskin.
Sebagai gantinya, pemerintah bisa meningkatkan pajak ekspor dan pajak keuntungan dari komoditas itu.
Diversifikasi aliran pendapatan seperti pajak baru yang ditargetkan di sektor energi dan transportasi juga akan menggantikan pendapatan bahan bakar fosil. Dengan begitu, transisi energi bisa berjalan tanpa merugikan negara.
Sejarah telah menunjukkan bahwa pengurangan besar dalam pendapatan bahan bakar fosil dapat dipertahankan dengan berkembang pesatnya sektor ekonomi lainnya.
Lihat Juga : |
Di Indonesia, pendapatan minyak dan gas pemerintah turun dari 35 persen dari total pendapatan pada 2001 menjadi 16 persen pada 2019. Sementara, pertumbuhan PDB negara dan defisit anggaran sebagian besar tetap tidak berubah.
Laan menyebut melonjaknya harga dan permintaan energi menghasilkan pendapatan besar dari produksi dan konsumsi bahan bakar fosil. Keuntungan jangka pendek ini harus dikenakan pajak untuk mendanai transisi energi.
"Pada saat yang sama, pemerintah harus melindungi konsumen yang rentan dari harga tinggi dan mendukung pekerja dan masyarakat yang bergantung pada bahan bakar fosil dengan cara yang tidak menghalangi transisi ke energi yang lebih bersih," kata dia.
(mrh/agt)