Listrik yang Over-suplai
Program konversi kompor listrik ini disebut-sebut sebagai salah satu upaya agar PT PLN (Persero) bisa menekan kelebihan pasokan listrik (oversupply).
Isu kelebihan pasokan listrik sendiri memang terjadi di Indonesia. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan PLN akan mengalami oversupply listrik 6 hingga 7 gigawatt (GW) akhir tahun ini. Menurutnya, oversupply mencakup seluruh Indonesia.
"6-7 (GW) lah. 6 GW kalau akhir tahun ini. Yang (tahu) persis kan di PLN," kata dia di Gedung DPR, Kamis (22/9).
Dalam kesempatan yang sama, Menteri ESDM Arifin menyebut oversupply ini menjadi beban karena PLN menerapkan kontrak listrik dengan skema take or pay. Artinya, PLN tetap harus membayar listrik yang dipakai maupun tidak kepada produsen listrik swasta (IPP).
Oleh karena itu, untuk menekan oversupply pihaknya melakukan beberapa upaya. Salah satunya, program konversi LPG 3 kg ke kompor listrik.
Tak hanya Kementerian ESDM, Badan Anggaran (Banggar) juga mengatakan PLN akan mengalami oversupply listrik bahkan hingga 41 gigawatt pada 2030. Ketua Banggar DPR Said Abdullah juga menyebut angka, bahwa harus menanggung beban sekitar Rp3 triliun per tahun untuk setiap kelebihan 1 gigawatt.
Berdasarkan Buku Statiska PLN, produksi listrik PLN baik yang diproduksi sendiri maupun dibeli dari pihak lain memang tidak sebanding dengan konsumsi.
Pada 2019, produksi listrik PLN mencapai 270.975,97 GWh sementara konsumsi 245.518,17 GWh. Artinya, ada selisih 25.457,8 GWh. Kemudian, pada 2020, produksi listrik PLN mencapai 274.851,18 GWh sedangkan konsumsi listrik hanya 243.582,75 GWh.
Pada 2021, produksi PLN mencapai 289.470,57 gigawatt hour (GWh). Sedangkan konsumsi listrik hanya 257.634,25 GWh sehingga selisih 31.836,32 GWh.
![]() |
![]() |
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan PLN saat ini mengalami over-kapasitas bukan over-suplai.
Over kapasitas terjadi ketika kapasitas pembangkit listrik yang sudah terpasang jauh lebih besar dari kapasitas pembangkit yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan antara permintaan dan suplai listrik.
Menurutnya, PLN tetap harus membayar pada IPP (produsen listrik swasta) karena IPP harus tetap membayar karyawan, cicilan bank atau biaya operasional lainnya.
"Kalau enggak nyala berarti enggak bisa menghasilkan listrik," ujarnya.
Skema take or pay, sambungnya, untuk setiap pembangkit listrik berbeda. Skema ini dinilai menjadi masalah karena referensi capacity factor terlalu tinggi yaitu 75 hingga 80 persen. Seharusnya, menurut dia, bisa diturunkan ke 60 persen.
"Jadi kalau pun PLN nanti harus bayar, dia tidak perlu bayar dengan ketinggian," ujarnya.
Fabby juga mengungkap hitung-hitungan over kapasitas yang dialami oleh PLN hanya diketahui oleh pemerintah dan lembaga tersebut. Maka dari itu, ia meminta pemerintah dan PLN membuka data tersebut.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan dalam situasi oversupply dan skema take or pay, mau tidak mau PLN atau pemerintah harus menciptakan pasar baru agar pasokan setrum bisa dioptimalkan.
Maka dari itu, mucul program koversi kompor listrik. Program ini bisa menyerap konsumsi listrik di rumah tangga lebih signifikan.
"Karena saat ini kan jumlah pelanggan PLN sendiri untuk golongan 450 VA dan 900 VA hampir 30 juta pelanggan, kalau misalnya semuanya bisa berjalan dengan baik, ya ini bisa menyerap pasokan listrik dengan baik," kata Mamit.