5 Tanda Dunia Bakal Jatuh ke Jurang Resesi
Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi ekonomi dunia bakal jatuh ke jurang resesi pada tahun depan. Hal ini lantaran suku suku bunga acuan bank sentral di sejumlah negara semakin tinggi.
Ani, sapaan akrabnya, memastikan kebijakan itu akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, sehingga ancaman resesi semakin sulit dihindari.
"Kenaikan suku bunga cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023," tutur Ani dalam konferensi pers, Senin (26/9).
Tak hanya Sri Mulyani, Bank Dunia (World Bank) juga memproyeksi sejumlah negara resesi pada 2023. Dalam laporan Global Economic Prospect June 2022 (GEP), Bank Dunia menjelaskan tekanan inflasi yang begitu tinggi di banyak negara tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang diprediksi ikut terseret ke dalam jurang resesi akibat inflasi yang terus meningkat.
Lantas apa saja tanda-tanda negara mengalami resesi?
1. Dolar AS Menguat
Dolar AS berperan besar dalam ekonomi global dan keuangan internasional. Penjelasan sederhananya dapat dilihat dari dampak kebijakan bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed).
Ketika The Fed menaikkan suku bunga acuan seperti yang dilakukan sejak Maret lalu hingga saat ini, maka investor di seluruh dunia akan lebih tertarik pada dolar AS.
Dalam iklim ekonomi apa pun, dolar AS dipandang sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang. Dalam kondisi yang tak stabil seperti pandemi atau perang, investor bahkan memiliki lebih banyak insentif untuk membeli dolar, biasanya dalam bentuk obligasi pemerintah AS.
Penguatan dolar menjadi keuntungan bagi warga AS yang bepergian ke luar negeri, tetapi membebani hampir semua orang karena nilai tukar mata uang lain anjlok.
Nilai poundsterling Inggris, euro, yuan China, yen Jepang dan lainnya jatuh sehingga membuat negara-negara mengeluarkan biaya yang lebih mahal untuk mengimpor barang-barang penting seperti makanan dan bahan bakar.
Penguatan dolar juga menciptakan efek destabilisasi untuk Wall Street karena banyak dari perusahaan S&P 500 melakukan bisnis di seluruh dunia. Menurut perkiraan dari Morgan Stanley, setiap kenaikan 1 persen indeks dolar berdampak negatif 0,5 persen pada pendapatan S&P 500.
2. Daya Beli Konsumen AS Turun
Penggerak utama ekonomi AS adalah belanja. Namun, tingkat belanja konsumen mulai menurun setelah kenaikan hampir semua barang selama dari satu tahun. Ditambah lagi, upah tidak ikut naik.
Suku bunga The Fed yang meningkat mendorong tingkat hipotek ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade dan mempersulit bisnis untuk tumbuh. Sementara itu, konsumen mendapatkan pukulan dari suku bunga pinjaman yang tinggi dan harga yang tinggi, terutama dalam hal kebutuhan seperti makanan dan perumahan.
3. Bisnis Mulai Terguncang
Bisnis telah berkembang pesat di seluruh industri untuk sebagian selama sebagian besar masa pandemi Covid-19. Sebagian besar bisnis mampu membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen untuk melindungi margin keuntungan.
Namun, keuntungan sangat besar yang diperoleh suatu perusahaan mungkin tidak akan bertahan lama.
Pada pertengahan September lalu, salah satu perusahaan yang kekayaannya menjadi seperti penentu arah ekonomi mengejutkan investor. FedEx yang beroperasi di lebih dari 200 negara secara tak terduga merevisi prospeknya dan memperingatkan bahwa permintaan melemah serta pendapatan kemungkinan akan turun lebih dari 40 persen.
CEO FedEx Raj Subramaniam mengatakan kondisi itu bisa menjadi tanda resesi global.
"Kurasa begitu (tanda resisi). Angka-angka ini, mereka tidak menandakan dengan baik," ujarnya, dikutip dari CNN Business, Selasa (4/10).
FedEx bukan satu-satunya perusahaan yang mulai terguncang. Minggu lalu, saham Apple anjlok setelah Bloomberg melaporkan perusahaan membatalkan rencana untuk meningkatkan produksi iPhone 14 setelah permintaan di bawah ekspektasi.
Bersambung ke halaman berikutnya...