Konferensi Pembangunan Perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) meminta bank-bank sentral di dunia menahan kenaikan suku bunga acuan demi menghindari resesi.
Badan tersebut menyatakan kebijakan moneter itu bisa menimbulkan krisis yang lebih buruk dari krisis keuangan pada 2008 dan guncangan pandemi covid-19 pada 2020 lalu.
Dilansir dari CNN pada Rabu (5/10), UNCTAD memperkirakan setiap kenaikan persentase poin dalam suku bunga acuan dari bank sentral AS (The Fed), bisa menurunkan output ekonomi negara kaya lainnya 0,5 persen dan output ekonomi di negara kurang berkembang sebesar 0,8 persen selama tiga tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut terjadi karena dolar AS yang menguat dari mata uang negara lain, sehingga biaya impor barang penting seperti makanan dan energi kian besar.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan yang diikuti oleh penguatan dolar AS juga dapat memotong US$360 miliar pendapatan masa depan untuk negara-negara berkembang.
Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan mengatakan sebenarnya negara atau bank sentral mempunyai alternatif lain untuk menurunkan inflasi alih-alih mengerek suku bunga acuan.
Misalnya, negara-negara dapat menerapkan pajak tak terduga atau pungutan satu kali pada industri yang telah mengalami keuntungan tinggi seperti pada perusahaan minyak dan gas.
Lihat Juga : |
"Masih ada waktu untuk mundur dari tepi resesi," kata Grynspan.
The Fed mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) dari 2,25 persen-2,5 persen menjadi 3 persen-3,25 persen pada September 2022. Tercatat selama tahun ini bank sentral AS itu telah menaikkan suku bunga 75 bps tiga kali berturut-turut.
Suku bunga acuan AS tembus ke level tertinggi sejak krisis keuangan global pada 2008. Hal ini sekaligus kebijakan terberat The Fed sejak 1980 dalam melawan inflasi yang melonjak beberapa waktu terakhir.
Selain The Fed, bank sentral Eropa (ECB) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps.
Lihat Juga : |
Mengutip ecb.europa.eu, setelah kenaikan suku bunga, suku bunga pada operasi refinancing utama dan suku bunga pada fasilitas pinjaman marjinal dan fasilitas simpanan akan meningkat masing-masing menjadi 1,25 persen, 1,5 persen, dan 0,75 persen, mulai 14 September 2022.
Tak ketinggalan, Bank Indonesia (BI) juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen.
Demikian juga, suku bunga deposit facility naik sebesar 50 bps menjadi 3,5 persen, dan suku bunga lending facility naik sebesar 50 bps menjadi 5 persen.
Di sisi lain, Presiden Bank Dunia David Malpass memperingatkan bahwa badai stagflasi dan resesi global dapat memporak-porandakan ekonomi selama bertahun-tahun.
Senada, Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia Ngozi Okonjo-Iweala juga mengatakan dunia sedang berada di tepi jurang resesi.
Dana Moneter Internasional (IMF) pun baru-baru ini menurunkan proyeksi ekonominya untuk 2023.