ANALISIS

Tanda-tanda Triple Crisis Mulai Nyata, Indonesia Harus Apa?

CNN Indonesia
Rabu, 12 Okt 2022 07:25 WIB
Mantan Presiden SBY mengingatkan dunia berpotensi mengalami krisis di tiga sektor secara berbarengan (triple crises), yaitu keamanan, ekonomi, dan lingkungan.
Perfect storm itu mulai dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. (REUTERS/RALPH TEDY EROL).

Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan risiko triple crisis seperti yang disebut SBY bakal terjadi. Namun, ia menyebut kondisi itu dengan istilah badai sempurna atau perfect storm.

"Memang akan terjadi risiko perfect storm di mana faktor ekonomi, keamanan, stabilitas politik, sampai ke lingkungan hidup itu akan menjadi satu krisis yang semakin nyata," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/10).

Ia mengatakan saat ini perfect storm itu mulai dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu ditandai dengan penurunan cadangan devisa, fluktuasi nilai tukar rupiah, penurunan keyakinan konsumen untuk berbelanja, serta peningkatan beban biaya bahan baku dan ongkos logistik bagi pelaku usaha.

Dari sisi sektor keamanan, Bhima mengatakan Indonesia perlu waspada terhadap situasi global di mana titik yang paling dekat dengan Indonesia adalah konflik di Laut China Selatan yang melibatkan negara ASEAN, Barat, serta China.

Kemudian sektor lingkungan, tanda yang sudah dirasakan adalah meningkatnya frekuensi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

Bhima mengatakan krisis lingkungan sebenarnya sudah ada bahkan sejak SBY masih menjadi sebagai presiden.

Dalam masa kepemimpinan SBY, pembangunan PLTU berbasis batu bara disebut masif dilakukan yang sekarang menyebabkan oversupply listrik dan beban keuangan PLN.

"Krisis lingkungan itu sudah ada sejak zaman Pak SBY. Harusnya Pak SBY juga dulu melakukan terobosan-terobosan," ujarnya.

Bhima mengatakan dalam menghadapi situasi perfect storm, pemerintah perlu mengeluarkan satu paket kebijakan krisis atau anti resesi untuk mencapai titik keseimbangan baru antara ekonomi dan lingkungan.

Pemulihan ekonomi atau antisipasi harus berbasis pada pembangunan berkelanjutan atau dikenal dengan konsep green new deal.

Misalnya, dengan transisi energi akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru. Kemudian pembangunan yang lebih hijau akan menciptakan keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dengan dampak terhadap masyarakat di sekitar kawasan hutan serta kelestarian lingkungan jangka panjang.

"Jadi titik-titik keseimbangan baru itu yang harusnya didorong menjadi otot pertumbuhan ekonomi yang baru. Ini yang disebut konsep green new deal" ujar Bhima.

Ia mengatakan pemerintah bisa memodifikasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dilakukan selama pandemi covid-19 sesuai dengan tantangan yang saat ini, termasuk soal isu lingkungan.

Penyesuaian bisa dilakukan dalam aspek anggaran dan bentuk perlindungan sosial, serta ditambah aspek transisi energi untuk menghadapi krisis lingkungan. Bhima mengatakan aspek-aspek tersebut seharusnya berada dalam satu paket kebijakan.

"Itu yang sekarang ini belum ada sehingga pemerintah terkesan mengumumkan kepada publik bahwa hati-hati ada ancaman resesi tetapi produk atau solusi itu yang belum tergabung dalam satu paket kebijakan," katanya.


Sementara itu, Peneliti Indef Nailul Huda menilai triple crises bisa berdampak pada Indonesia, terutama untuk sektor ekonomi.

Menurutnya, posisi Indonesia sebagai negara non blok tidak akan terkena imbas secara langsung dari krisis perang yang terjadi saat ini.

Namun Indonesia mengalami dampak tidak langsung karena memiliki hubungan yang cukup erat dengan negara yang berkonflik seperti Amerika Serikat dan China.

Ia mengatakan dampak yang paling terasa dari krisis perang atau keamanan adalah terganggunya perdagangan internasional masuk ke Indonesia.

"Akibatnya harga komoditas akan melejit, inflasi semakin meningkat. Maka timbul krisis ekonomi," ujarnya.

Ia mengatakan krisis ekonomi di Indonesia sebetulnya sudah mulai terasa. Hal ini bisa dilihat dari lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan beberapa perusahaan, khususnya perusahaan berbasis digital. Tercatat, sepanjang 2022 ini sudah ada sekitar 15 perusahaan atau startup yang melakukan PHK.

Sementara dari krisis lingkungan, ia mengatakan bisa dilihat dari investasi yang masuk ke Indonesia. Sebagian besar masih berinvestasi untuk komoditas fosil seperti batu bara, mineral tanah, dan lainnya.

"Itu kan cenderung merusak lingkungan. Makanya kita kan belum bisa optimal menerapkan ESG (Environmental, Social and Governance)," katanya.



(fby/dzu)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER