Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memperkirakan lonjakan ekspor batu bara Indonesia ke Eropa yang diungkap Badan Pusat Statistik pada awal pekan kemarin hanya bisa berlanjut hingga April atau Mei 2023.
Memang katanya, negara di Eropa masih membutuhkan batu bara. Namun, saat ini mereka juga masih mengusahakan alternatif pasokan gas selain dari Rusia.
"Ketergantungan gas dari Rusia mulai berkurang dan diperkirakan harga gas akan menurun," ujar Fabby kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, kata dia, musim dingin pun sudah lewat pada April 2023. Tidak hanya itu, Eropa juga disinyalir akan tetap mempertahankan target Fit for 55, yaitu menurunkan emisi 55 persen pada 2030.
Adapun penurunan emisi tersebut bersumber pada peningkatan energi terbarukan. Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan pesanan batu bara dari Eropa ini akan berlangsung dalam jangka yang cukup panjang, paling tidak sampai nanti konflik Rusia-Ukraina bisa segera selesai.
Sayangnya, sampai saat ini tanda-tanda perang selesai masih belum ada. Menurut Mamit, hal ini penting agar pasokan gas untuk negara di Eropa bisa normal kembali mengingat 60 persen gas Eropa berasal dari Rusia.
"Mereka (negara-negara Eropa) untuk menggunakan sepenuhnya EBT misal solar panel, angin masih belum bisa mencukupi. Costnya juga lebih mahal," kata Mamit.
Ia juga mengatakan opsi negara Eropa untuk menggunakan nuklir sebagai pengganti kapasitasnya juga terbatas. Oleh karena itu, mau tidak mau Eropa harus kembali ke batu bara yang jumlahnya masih cukup banyak dan mudah untuk didapatkan.
"Perkiraan saya, tahun 2023 kita masih tetap menikmati durian runtuh ini. Hal ini karena Eropa masih belum bisa pulih dari krisis energi sepenuhnya," tandasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor batu bara Indonesia ke kawasan Uni Eropa melesat tajam dari US$96,21 juta di Agustus menjadi US$161,69 juta di September.
Peningkatan pesanan emas hitam ke negara-negara Eropa ini terjadi karena krisis energi tengah terjadi di Benua Biru. Kelangkaan energi sendiri dipicu oleh Rusia yang menghentikan aliran gas ke Eropa.
Imbasnya, negara-negara Eropa kembali beralih ke pembangkit bertenaga batu bara dan sejenak mengubur wacana transisi ke energi terbarukan (EBT).
Kelangkaan energi di Eropa juga seiring dengan upaya mereka menghadapi musim dingin. Dalam periode ini, Eropa membutuhkan pasokan energi untuk penghangat ruangan.
Berdasarkan data BPS, ekspor batu bara Indonesia ke Polandia naik tajam 95,47 persen dari US$32,42 juta pada Agustus 2022 menjadi US$63,36 juta di September 2022.
Selain itu, pengiriman batu bara yang tidak ada pada Agustus 2022 ke Belanda, di September menjadi ada dengan nilai US$55,85 juta.
(mrh/agt)