Badai resesi mulai menghantam satu per satu negara di dunia, akibat perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan kelangkaan energi dan pangan.
Akibat perang dua negara itu, rantai pasok terganggu sehingga kelangkaan dan kenaikan harga komoditas baik pangan maupun energi mulai terjadi.
Pada akhirnya, kondisi tersebut berdampak pada lonjakan inflasi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bank-bank sentral pun mulai mengerek suku bunga acuannya untuk menahan lonjakan inflasi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati, kenaikan suku bunga acuannya juga membuat pertumbuhan ekonomi di beberapa negara melambat.
Dalam ilmu ekonomi, negara bisa disebut mengalami resesi apabila ekonominya terkontraksi atau minus dalam dua kuartal berturut-turut. Lantas negara mana saja yang terjebak resesi?
Rusia resmi jatuh ke jurang resesi ekonomi setelah sembilan bulan menggempur Ukraina. Produk domestik bruto (PDB) Rusia tercatat turun 4 persen pada kuartal III 2022.
Data PDB tersebut diambil dari perkiraan awal Badan Statistik Nasional Rosstat. Hal serupa juga terjadi pada kuartal kedua, dengan kata lain Rusia secara teknis sudah memenuhi definisi resesi.
Menurut kantor Boris Titov, komisaris presiden untuk pengusaha, sekitar sepertiga dari 5.800 perusahaan Rusia yang disurvei baru-baru ini mengalami penurunan penjualan dalam beberapa bulan terakhir.
Pada 8 November, Bank Sentral Rusia memperkirakan produk domestik bruto akan berkontraksi sebesar 3,5 persen tahun ini. IMF dan Bank Dunia masing-masing memperkirakan penurunan PDB Rusia sebesar 3,4 persen dan 4,5 persen.
Hong Kong juga masih terjebak dalam jurang resesi. Tercatat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara itu kontraksi selama tiga kuartal berturut-turut karena pelemahan perdagangan eksternal.
Melansir trading Economic, PDB Hong Kong terkontraksi minus 4,5 persen. Jauh lebih dalam dibanding kontraksi di kuartal sebelumnya, yakni minus 1,3 persen.
Sejumlah analis menilai target pemulihan ekonomi Hong Kong terhambat oleh kenaikan inflasi, permintaan global yang menurun, dan sentimen konsumen yang lemah di kota yang bergantung pada perdagangan.
Selain itu, pembatasan covid-19 membebani ekonomi Hong Kong sejak awal 2020. Hal itu menghentikan pariwisata dan perjalanan bisnis dan memukuli bar, restoran, dan toko berulang kali untuk waktu yang lama.
PDB Sri Lanka telah terkontrasi dua kuartal berturut-turut. Tercatat, PDB pada kuartal II 2022 terkontraksi minus 8,4 persen, lebih dalam dibanding kuartal sebelumnya, yaitu minus 1,6 persen.
Ekonomi Sri Lanka memang sedang tidak baik-baik saja. Dalam beberapa waktu terakhir, negara itu dihantam krisis energi yang membuat harga-harga melambung.
Bahkan, negara itu bangkrut. Untuk memperbaiki ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) pun memberikan persetujuan sementara atas pinjaman US$2,9 miliar atau setara Rp42,63 triliun (asumsi kurs Rp14.700 per dolar AS) kepada Sri Lanka.
Dalam pemberian pinjaman ini, IMF memberikan syarat kepada Sri Lanka, yaitu harus mendapatkan jaminan pembiayaan dari negara kreditur atas utang-utang mereka sebelumnya.
Pinjaman atau dana talangan yang diberikan IMF ini berlaku selama 48 bulan atau 4 tahun. Sehingga, dalam periode tersebut diharapkan Sri Lanka bisa meningkatkan pendapatan dengan memperluas basis pajak untuk mendukung konsolidasi fiskal.