Meski demikian, Yusuf sebenarnya bukan alergi subsidi kendaraan listrik. Ia sepakat dan mendukung penuh upaya menurunkan emisi karbon dan transisi energi ke energi bersih, tetapi skema subsidi tersebut bukan prioritas.
Menurutnya, pemerintah tidak boleh terjebak pada agenda-agenda transisi energi yang merupakan solusi semu, seperti insentif berlebihan bagi kendaraan listrik berbasis baterai.
Ada kebijakan yang lebih substantif dan krusial, termasuk mempercepat upaya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Andai insentif tetap ingin diberikan bagi kendaraan listrik, seharusnya diberikan sangat terbatas hanya untuk kendaraan umum, seperti bus dan angkutan umum kota, dalam rangka transformasi transportasi massal menuju transportasi umum berbasis listrik," sarannya.
Sementara itu, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social Economics and Digital (ISED) Ryan Kiryanto memahami betul wacana subsidi kendaraan listrik ini dilakukan pemerintah untuk memancing investor.
Menurutnya, pemerintah tak peduli siapa investornya, baik dari domestik atau asing, yang penting mereka mau mengembangkan kendaraan listrik dengan seluruh ekosistemnya. Tujuan jangka panjangnya untuk mengurangi emisi karbon atau dekarbonisasi.
"Yang penting semua penyerapan anggaran dilakukan berdasarkan asas good governance, maka tidak akan terjadi benturan kepentingan," tegas Ryan.
Pengamat Transportasi sekaligus Dosen Teknik Sipil Universitas Indonesia Andyka Kusuma ikut menanggapi bola panas subsidi kendaraan listrik ini.
Menurut Andyka, langkah pemerintah untuk memberikan subsidi dengan rentang maksimal Rp80 juta itu sama sekali bukan solusi.
"Kalau masalah subsidi tersebut, kendaraan listrik tidak memecahkan masalah kemacetan. Hanya membantu mempercepat konversi teknologi. Intinya harus ada angkutan massal berbahan listrik," tegas Andyka.