Menanggapi rencana pembatasan kuota BBM subsidi baik solar maupun pertalite, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sepakat dengan rencana tersebut.
Pasalnya, jika tidak ada pembatasan, BBM subsidi bakal digunakan oleh konsumen yang tidak berhak dan menyebabkan kenaikan beban subsidi di APBN.
"Sistem kuota per daerah yang diturunkan ke dalam kuota harian per SPBU perlu dilakukan untuk mencegah kebocoran BBM bersubsidi," ujar Fabby.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sistem kuota bakal membuat konsumsi masyarakat yang menggunakan BBM subsidi lebih rasional. Pada akhirnya, kuota BBM subsidi harus bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat yang membutuhkan dan berhak sesuai target sasaran yang ditetapkan.
Di lain sisi, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai ada plus dan minus dari kebijakan tersebut.
Yusuf melihat sisi positif kebijakan ini adalah mencoba mengakomodir terbatasnya aliran BBM, terutama solar yang stoknya memang tidak selalu tersedia dalam jumlah besar.
"Sehingga setiap masyarakat nantinya diberikan kuota untuk digunakan selama satu hari dan secara adil diberikan kepada masyarakat yang memang membutuhkan atau tergolong dari kelompok yang membutuhkan bantuan subsidi solar dan juga pertalite," tutur Yusuf.
Sedangkan sisi negatifnya, jika pemerintah tidak memperhitungkan secara matang, kebijakan kuota harian bakal menyulitkan masyarakat yang sangat tergantung terhadap penggunaan transportasi pribadi.
Ia menegaskan ketergantungan masyarakat bukan tanpa alasan. Sebab, di beberapa daerah tidak tersedia transportasi publik yang layak dan tersedia dalam waktu yang tidak terbatas.
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi pertimbangan lain bagi pemerintah ketika menentukan masyarakat mana yang dikenakan kuota harian dari kebijakan pembatasan BBM subsidi tersebut.
"Faktor lokasi mereka tinggal menurut saya perlu menjadi perhatian pemerintah karena sekali lagi mereka tentu akan berpotensi menggunakan bahan bakar yang lebih banyak dibandingkan yang tinggal di daerah dengan transportasi publik sudah relatif bagus," tuturnya.
Yusuf menegaskan pada akhirnya kebijakan ini perlu diseleksi agar bisa diterapkan di lokasi yang tepat. Ia menekankan bakal ada perbedaan penerapan kebijakan kuota harian di satu daerah dengan yang lain berbekal pertimbangan lokasi dan infrastruktur.
Pengamat Energi dan Pertambangan Kurtubi menyebut keadaan ekonomi dunia belum pulih akibat pandemi covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina. Oleh karena itu, dua komoditas menjadi sangat penting, yakni energi dan pangan. Keduanya bakal tetap menjadi ancaman terhadap perekonomian semua negara, termasuk Indonesia.
Ancaman inflasi juga masih menghantui dunia di 2023 di mana diperkirakan akan terjadi inflasi tinggi, bahkan resesi global. Namun, Kurtubi menegaskan fakta menunjukkan dalam beberapa tahun inflasi yang sangat ditakuti oleh semua negara malah tampak rendah di Tanah Air.
"Inflasi yang rendah ini merupakan buah atau hasil dari kebijakan subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik), yang terbesar adalah subsidi BBM," ungkap Kurtubi.
Kurtubi menegaskan masalah subsidi energi yang menyedot APBN sebenarnya bisa dipecahkan secara cepat. Menurutnya, masalah terbesar yang dihadapi di sektor migas nasional sebenarnya produksi minyak yang sangat rendah dan dibiarkan terus turun selama dua dekade.
"Menaikkan penerimaan APBN yang berasal dari penambangan sumber daya energi batu bara dengan cara menaikkan persentase pajak dan PNBP yang dibayar oleh penambang batu bara sehingga jumlah pajak dan PNBP yang dibayar harus lebih besar dari keuntungan bersih yang mereka peroleh," tegasnya soal solusi masalah subsidi energi yang menyedot APBN.
Sementara itu, masih ada pro kontra kebijakan kuota harian dari sisi konsumen.
Fauzan selaku karyawan swasta di Jakarta yang mengendarai mobil dengan BBM Pertalite setuju dengan adanya pembatasan BBM subsidi berbasis kuota. Ia menilai aturan tersebut bisa menjadi pemantik masyarakat untuk beralih ke kendaraan umum.
Kendati, ia tak menampik bahwa pembatasan Solar dan Pertalite berbasis kuota harian bakal berpengaruh terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan mobilitas tinggi. Fauzan juga khawatir bakal terjadi penumpukan atau antrean panjang di SPBU karena para pengguna beralih ke Pertamax atau BBM non-subsidi lain.
"Kurang lebih segitu (60 liter). Soalnya full tank 33 liter. Kalau mau ke luar kota, misal Semarang atau daerah Pulau Jawa, pasti isi lagi. Jadi bisa lebih dari 60 liter per hari. Tapi kalau untuk harian gak sampai sih. Pasti isi 10 liter sudah cukup di dalam kota," jelasnya.
Lihat Juga : |
Sedangkan Daru, seorang pengusaha air minum galon di Banten, tak setuju dengan kuota harian tersebut. Ia menjelaskan selama ini harus mengisi mobil pikap yang digunakan berkeliling dengan BBM jenis Pertalite.
"Buat biaya transportasi mobil pikap sendiri seharian mutar itu kurang lebih 8 jam dengan jarak tempuh kurang lebih 100 km, butuhnya 10-15 liter," ungkap Daru.
Meski menilai kuota 60 liter per hari sudah terbilang banyak, Daru keberatan jika aturan tersebut juga diberlakukan untuk Pertalite. Menurutnya, jarak tempuh yang lebih jauh bakal membuat konsumsi BBM lebih banyak dan kerepotan jika harus dibatasi.
"Gak setuju, terlalu banyak aturan. Ngisi ya sudah ngisi saja gitu, yang kemarin sistem mesti terdaftar (MyPertamina) juga nyatanya gak berjalan. Dengan alasan tepat sasaran, nyatanya mobil-mobil pribadi yang bagus juga tetap bisa isi pertalite," keluhnya.