Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah, melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), bakal membatasi pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis solar dan pertalite dengan kuota harian.
Kendati, saat ini baru solar yang sudah memiliki batasan kuota. Anggota BPH Migas Saleh Abdurrahman menjelaskan kendaraan pribadi pelat hitam memiliki kuota harian solar maksimal 60 liter per hari, angkutan umum orang atau barang roda 4 dijatah 80 liter per hari, dan angkutan umum roda 6 sebanyak 200 liter per hari.
Saleh mengatakan sebenarnya pembatasan solar dengan sistem kuota harian sudah berjalan. Namun, masih banyak penyalahgunaan karena konsumen bisa mengisi BBM berkali-kali imbas nihil integrasi antar SPBU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa begitu (penyalahgunaan BBM subsidi solar)? Karena sistem digitalisasi kita itu belum optimal. Jadi antar SPBU itu belum ada komunikasi. Dengan adanya sekarang ini MyPertamina, subsidi tepat itu, antar SPBU sudah connected," jelas Saleh kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/1).
Kepala BPH Migas Erika Retnowati sempat menyinggung soal penyalahgunaan BBM. Bersama Polri, pihaknya mengungkap dugaan penyalahgunaan sekitar 1.422.263 liter pada 2022 dengan total kerugian Rp17 miliar hanya dari barang bukti yang didominasi BBM jenis solar.
Erika menekankan jika yang dihitung tidak hanya barang bukti, jumlah kerugian negara bisa jauh lebih besar ketika dirunut dari berapa lama penyalahgunaan BBM subsidi itu berlangsung.
Selain bicara penegakan hukum, Erika menjelaskan bagaimana BPH Migas menjalankan fungsi pengawasan dengan melakukan tindakan pencegahan. Pertama, dengan pengendalian melalui perbaikan regulasi.
Ia menekankan saat ini pihaknya masih memproses revisi Perpres 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Erika menekankan poin penting terkait siapa konsumen alias pengguna yang berhak atas BBM subsidi tersebut.
"Jadi kami lebih ingin menegaskan lagi siapa sebetulnya konsumen atau pengguna yang berhak atas BBM subsidi dan juga BBM yang mendapatkan kompensasi. Itu yang akan kami atur lebih baik dari sisi regulasi," jelasnya dalam konferensi pers di Kantor BPH Migas, Selasa (3/1).
Kedua, implementasi. Erika mengatakan ke depan pemerintah bakal lebih mengandalkan teknologi informasi (IT) untuk mencegah penyalahgunaan BBM subsidi. Ia menyinggung program subsidi tepat yang digaungkan PT Pertamina (Persero).
Erika itu berharap penggunaan teknologi membuat oknum tidak bisa lagi bermain-main. Ia menegaskan pembatasan ke depan bakal diberlakukan dengan data yang terintegrasi antar SPBU melalui MyPertamina.
"Itu dia tidak bisa lagi seperti sekarang (modus) helikopter. Kalau sekarang kan orang bisa keliling dari satu SPBU ke SPBU lain. Ke depan dengan adanya teknologi yang sudah integrasi, kalau kuotanya sudah habis di satu SPBU, dia tidak akan bisa mengisi di tempat lain," tegas Erika.
Sementara itu, untuk pembatasan kuota harian pertalite, Direktur BBM BPH Migas Sentot Harijady masih harus menunggu revisi Perpres 191 Tahun 2014.
Sayangnya, hingga kini nasib revisi perpres tersebut belum ada titik terangnya. Sehingga penggunaan aplikasi MyPertamina belum bisa berjalan maksimal.
Meski demikian, Sentot memastikan pihaknya tetap menggunakan MyPertamina untuk mengimplementasikan pembatasan ini.
"Kalau itu (penggunaan MyPertamina) sudah pasti, itu tool kami untuk pengawasan itu ada di situ," tegas Sentot.
Anggota BPH Migas Saleh Abdurrahman menambahkan ada beberapa opsi yang bisa dilakukan dalam pembatasan pertalite.
Pertama, bakal dibatasi dari besaran cubicle centimeter (cc) kendaraan, misal hanya mobil 1.400 cc ke bawah yang diperbolehkan menenggak Pertalite.
Kedua, pemerintah bakal melihat apakah pembatasan tersebut efektif atau ternyata malah kuota pertalite tidak cukup. Jika tidak cukup, baru diberlakukan pengaturan lagi, termasuk kemungkinan adanya kuota harian pertalite.
"Sampai saat ini, belum. Belum ada (kuota harian pertalite). Masih menunggu revisi Perpres 191/2014 dan tergantung nanti apakah ternyata kuotanya gak cukup. Ya kalau gak cukup, gimana? Harus diatur lagi supaya bisa digunakan semua yang membutuhkan," ungkap Saleh.
Terlepas dari pertalite yang belum dibatasi, apalagi dengan kuota harian, Saleh menjelaskan penggunaan IT bakal lebih memperkuat pengawasan, penyaluran, dan pendistribusian BBM subsidi di lapangan. Hal tersebut dibantu koneksi data antar SPBU alias full cycle.
Saat ini, konsep tersebut baru ada di 34 kabupaten/kota sebagai trial dari Pertamina. Saleh berharap ke depan bakal semakin banyak kabupaten/kota yang diuji coba, dengan target semua SPBU di seluruh Indonesia bisa terkoneksi di 2023 sehingga penyalahgunaan BBM subsidi bisa jauh berkurang.
"Jadi kalau misalnya isi di SPBU A 30 liter, di SPBU B 30 liter, masih bisa. Tapi kalau isi di SPBU A 30 liter, SPBU B 50 liter, gak bisa karena lebih dari (kuota) 60 liter. Kalau mengisi di 6 SPBU masing-masing 10 liter, boleh. Karena sudah connected, nanti sistem akan menolak kalau ngisi lebih dari yang dipersyaratkan," tuturnya.
Menanggapi rencana pembatasan kuota BBM subsidi baik solar maupun pertalite, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sepakat dengan rencana tersebut.
Pasalnya, jika tidak ada pembatasan, BBM subsidi bakal digunakan oleh konsumen yang tidak berhak dan menyebabkan kenaikan beban subsidi di APBN.
"Sistem kuota per daerah yang diturunkan ke dalam kuota harian per SPBU perlu dilakukan untuk mencegah kebocoran BBM bersubsidi," ujar Fabby.
Menurutnya, sistem kuota bakal membuat konsumsi masyarakat yang menggunakan BBM subsidi lebih rasional. Pada akhirnya, kuota BBM subsidi harus bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat yang membutuhkan dan berhak sesuai target sasaran yang ditetapkan.
Di lain sisi, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai ada plus dan minus dari kebijakan tersebut.
Yusuf melihat sisi positif kebijakan ini adalah mencoba mengakomodir terbatasnya aliran BBM, terutama solar yang stoknya memang tidak selalu tersedia dalam jumlah besar.
"Sehingga setiap masyarakat nantinya diberikan kuota untuk digunakan selama satu hari dan secara adil diberikan kepada masyarakat yang memang membutuhkan atau tergolong dari kelompok yang membutuhkan bantuan subsidi solar dan juga pertalite," tutur Yusuf.
Sedangkan sisi negatifnya, jika pemerintah tidak memperhitungkan secara matang, kebijakan kuota harian bakal menyulitkan masyarakat yang sangat tergantung terhadap penggunaan transportasi pribadi.
Ia menegaskan ketergantungan masyarakat bukan tanpa alasan. Sebab, di beberapa daerah tidak tersedia transportasi publik yang layak dan tersedia dalam waktu yang tidak terbatas.
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi pertimbangan lain bagi pemerintah ketika menentukan masyarakat mana yang dikenakan kuota harian dari kebijakan pembatasan BBM subsidi tersebut.
"Faktor lokasi mereka tinggal menurut saya perlu menjadi perhatian pemerintah karena sekali lagi mereka tentu akan berpotensi menggunakan bahan bakar yang lebih banyak dibandingkan yang tinggal di daerah dengan transportasi publik sudah relatif bagus," tuturnya.
Yusuf menegaskan pada akhirnya kebijakan ini perlu diseleksi agar bisa diterapkan di lokasi yang tepat. Ia menekankan bakal ada perbedaan penerapan kebijakan kuota harian di satu daerah dengan yang lain berbekal pertimbangan lokasi dan infrastruktur.
Pengamat Energi dan Pertambangan Kurtubi menyebut keadaan ekonomi dunia belum pulih akibat pandemi covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina. Oleh karena itu, dua komoditas menjadi sangat penting, yakni energi dan pangan. Keduanya bakal tetap menjadi ancaman terhadap perekonomian semua negara, termasuk Indonesia.
Ancaman inflasi juga masih menghantui dunia di 2023 di mana diperkirakan akan terjadi inflasi tinggi, bahkan resesi global. Namun, Kurtubi menegaskan fakta menunjukkan dalam beberapa tahun inflasi yang sangat ditakuti oleh semua negara malah tampak rendah di Tanah Air.
"Inflasi yang rendah ini merupakan buah atau hasil dari kebijakan subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik), yang terbesar adalah subsidi BBM," ungkap Kurtubi.
Kurtubi menegaskan masalah subsidi energi yang menyedot APBN sebenarnya bisa dipecahkan secara cepat. Menurutnya, masalah terbesar yang dihadapi di sektor migas nasional sebenarnya produksi minyak yang sangat rendah dan dibiarkan terus turun selama dua dekade.
"Menaikkan penerimaan APBN yang berasal dari penambangan sumber daya energi batu bara dengan cara menaikkan persentase pajak dan PNBP yang dibayar oleh penambang batu bara sehingga jumlah pajak dan PNBP yang dibayar harus lebih besar dari keuntungan bersih yang mereka peroleh," tegasnya soal solusi masalah subsidi energi yang menyedot APBN.
Sementara itu, masih ada pro kontra kebijakan kuota harian dari sisi konsumen.
Fauzan selaku karyawan swasta di Jakarta yang mengendarai mobil dengan BBM Pertalite setuju dengan adanya pembatasan BBM subsidi berbasis kuota. Ia menilai aturan tersebut bisa menjadi pemantik masyarakat untuk beralih ke kendaraan umum.
Kendati, ia tak menampik bahwa pembatasan Solar dan Pertalite berbasis kuota harian bakal berpengaruh terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan mobilitas tinggi. Fauzan juga khawatir bakal terjadi penumpukan atau antrean panjang di SPBU karena para pengguna beralih ke Pertamax atau BBM non-subsidi lain.
"Kurang lebih segitu (60 liter). Soalnya full tank 33 liter. Kalau mau ke luar kota, misal Semarang atau daerah Pulau Jawa, pasti isi lagi. Jadi bisa lebih dari 60 liter per hari. Tapi kalau untuk harian gak sampai sih. Pasti isi 10 liter sudah cukup di dalam kota," jelasnya.
Sedangkan Daru, seorang pengusaha air minum galon di Banten, tak setuju dengan kuota harian tersebut. Ia menjelaskan selama ini harus mengisi mobil pikap yang digunakan berkeliling dengan BBM jenis Pertalite.
"Buat biaya transportasi mobil pikap sendiri seharian mutar itu kurang lebih 8 jam dengan jarak tempuh kurang lebih 100 km, butuhnya 10-15 liter," ungkap Daru.
Meski menilai kuota 60 liter per hari sudah terbilang banyak, Daru keberatan jika aturan tersebut juga diberlakukan untuk Pertalite. Menurutnya, jarak tempuh yang lebih jauh bakal membuat konsumsi BBM lebih banyak dan kerepotan jika harus dibatasi.
"Gak setuju, terlalu banyak aturan. Ngisi ya sudah ngisi saja gitu, yang kemarin sistem mesti terdaftar (MyPertamina) juga nyatanya gak berjalan. Dengan alasan tepat sasaran, nyatanya mobil-mobil pribadi yang bagus juga tetap bisa isi pertalite," keluhnya.
[Gambas:Video CNN]