Ia juga memberi saran kepada perusahaan-perusahaan IT untuk terus mempelajari dan menganalisa perilaku masyarakat agar bisa memunculkan inovasi baru.
Pasalnya, saat ini manusia hidup di era Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity (VUCA) yang membuat dunia sangat cepat berubah.
Kecepatan perusahaan menyesuaikan dengan perubahan akan menentukan sukses tidaknya suatu bisnis. Ryan menegaskan perusahaan harus antisipatif dan agile alias lincah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Ketika ada perubahan perilaku pelanggan, maka perusahaan harus menyesuaikan dengan mengubah model bisnis yang ada.
Sementara itu, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menyoroti secara khusus alasan mengapa badai PHK startup RI terus terjadi. Menurutnya, banyak stimulus fiskal diserap oleh sektor keuangan dan startup-startup teknologi pada saat pandemi.
Namun, hal tersebut membuat startup teknologi menjadi sangat mudah menghamburkan anggaran dengan tujuan ekspansi bisnis, tak terkecuali dalam perekrutan sumber daya manusia (SDM). Ia mencontohkan fenomena di PT GoTo Gojek Indonesia Tbk yang mem-PHK 12 persen dari total karyawannya atau sebanyak 1.300 orang pada November 2022 lalu.
"Mereka memiliki beban gaji karyawan setara dengan BCA walaupun jumlah tenaga kerjanya tidak mencapai setengah dari BCA. Akibatnya, ketika kinerja perusahaan dan kondisi ekonomi tidak sesuai dengan proyeksi pertumbuhan seperti saat ini, para tenaga kerja yang direkrut secara berlebihan inilah yang terdampak efisiensi," jelas Andri.
Selain itu, pendanaan kini lebih sulit didapatkan sehingga startup teknologi kesusahan mencapai kinerja yang pada tahun lalu diproyeksikan optimis. Investor dan kreditur kini beralih ke instrumen investasi yang lebih aman, terutama di saat suku bunga yield obligasi AS kian meningkat.
Andri mengatakan pendanaan yang seret membuat banyak startup harus mengerem pembakaran uang dan menyebabkan layanan yang ditawarkan semakin mahal. Efek dominonya masyarakat kabur dan kembali beralih ke layanan-layanan konvensional.
"Mengenai sampai kapan gelombang PHK akan berlanjut, saya tidak bisa memastikan. Namun, yang dapat diprediksi di Indonesia adalah jika daya beli masyarakat masih belum bisa pulih di saat ekonomi dunia mengalami resesi, maka tekanan untuk melakukan efisiensi di startup-startup teknologi akan semakin berlanjut," prediksi Andri.
Tak jauh beda, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira melihat fenomena PHK massal masih bakal berlanjut di tahun ini. Ia merinci badai PHK di perusahaan dan startup teknologi disebabkan oleh 4 faktor utama.
Pertama, ekspektasi investor yang rendah terhadap prospek ekonomi 2023. Risiko inflasi dan suku bunga membuat investor cenderung menghindari penambahan investasi di sektor teknologi.
Kedua, pendapatan dari belanja iklan dan sewa layanan mengalami penurunan tajam di berbagai platform. Perilaku konsumen yang mengurangi belanja di banyak negara serta perubahan mobilitas pascapandemi membuat platform berbasis IT tersebut kehilangan pendapatan utama.
Ketiga, sebagian platform menggunakan isu resesi untuk melakukan pivot strategi di mana mereka menutup lini bisnis yang kurang prospektif dan mengganti dengan lini bisnis baru. Keempat, investor mulai berharap kepada perusahaan teknologi tidak lagi mengejar growth dan valuasi tinggi, tetapi fokus kepada cash flow dan profitabilitas.
"Gelombang PHK di perusahaan teknologi diperkirakan terus berlanjut hingga akhir 2023. Sektor yang mengalami PHK pun akan bervariasi, mulai dari e-commerce, food delivery, ride-hailing, agritech, hingga fintech lending. Beberapa perusahaan memiliki manajemen risiko yang cukup buruk, sehingga tidak mampu mengantisipasi perubahan makroekonomi dan perilaku konsumen," tandas Bhima.