ANALISIS

Menyorot Kinerja BPKH di Tengah Usul Biaya Haji Naik Jadi Rp69 Juta

CNN Indonesia
Jumat, 27 Jan 2023 07:05 WIB
Pengamat menilai kinerja BPKH perlu ditingkatkan agar dana haji yang disetorkan umat bisa memberikan imbal hasil lebih optimal.
Pengamat menilai kinerja BPKH perlu ditingkatkan agar dana haji yang disetorkan umat bisa memberikan imbal hasil lebih optimal. Ilustrasi. (REUTERS/WILLY KURNIAWAN).

Harus Transparan

Sementara itu, Pengamat Haji dari UIN Syarif Hidayatullah sekaligus Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin menilai usul kenaikan biaya haji menjadi Rp69 juta bukan perkara wajar atau tidak. Ia menilai pemerintah harus transparan dan menjelaskan kepada jemaah apa saja yang menyebabkan kenaikan ongkos tersebut.

Kendati, Ade sepakat dengan ucapan Menag Yaqut bahwa ibadah haji harus mengedepankan prinsip istitha'ah, termasuk urusan finansial. Ia menegaskan calon jemaah harus sanggup dan mampu membayar biaya haji, jangan sampai berangkat ke Baitullah menggunakan dana orang yang merupakan akumulasi dan tersimpan di BPKH.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Secara hukum apakah boleh digunakan tanpa izin? Siapa yang memberikan izin? Kalau perlu ya minta kepada jemaah, perwakilan seluruh jemaah, boleh tidak digunakan dana optimalisasi digunakan oleh orang yang berangkat tahun ini? Ini yang sebenarnya harus dipahami dulu, dipahami oleh siapapun calon jemaah haji yang mau berangkat. Bukan wajar atau tidak (kenaikan biaya haji), saya melihatnya ini faktual, realitas, atau tidak angka segitu?" jelasnya.

Ade kemudian menyarankan pemerintah membedah 14 komponen biaya haji yang tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Di dalam pasal 45 beleid tersebut, dirinci bahwa BPIH digunakan untuk biaya penerbangan, pelayanan akomodasi, pelayanan konsumsi, pelayanan transportasi, pelayanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, pelindungan, pelayanan di embarkasi atau debarkasi, pelayanan keimigrasian, premi asuransi dan pelindungan lainnya, dokumen perjalanan, biaya hidup, pembinaan jemaah haji di Tanah Air dan di Arab Saudi, pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi, serta pengelolaan BPIH.

Menurutnya, kenaikan biaya haji bisa ditekan dengan memperhatikan 14 komponen tersebut. Ade menilai perlu dilihat apa saja biaya yang sudah tetap dari tahun ke tahun hingga yang mengalami kenaikan. Biaya yang bersentuhan langsung dengan calon jemaah perlu diperhatikan dan dibedah oleh pemerintah.

Berdasarkan rincian Kemenag, angka Rp69 juta muncul akibat biaya penerbangan dari embarkasi ke Arab Saudi (PP) Rp33.979.784,00, akomodasi di Makkah Rp18.768.000,00, akomodasi di Madinah Rp5.601.840,00, living cost Rp4.080.000,00, biaya visa Rp1.224.000,00, serta paket layanan Masyair Rp5.540.109,60. Namun, Ade menilai ada beberapa komponen biaya yang sebetulnya masih bisa dipangkas.

Pertama, biaya living cost, yang sejatinya sudah dipangkas Menag Yaqut sebesar 500 riyal dari tahun lalu. Namun, Ade menganggap living cost masih harus dikaji ulang apakah masih diperlukan atau tidak. Kedua, biaya penerbangan naik dari Rp29 juta menjadi Rp33 juta, yang seharusnya bisa lebih murah. Jika fakta berkata lain, Ade mengatakan pemerintah harus menjelaskan kenapa terjadi kenaikan ongkos terbang.

Ketiga, komponen akomodasi dan katering yang dinilai terlalu menyita biaya. Jika merujuk pada data 2022, jemaah haji RI mendapat layanan makan sebanyak maksimal 119 kali. Menurutnya, jika biaya akomodasi dan katering jumbo, besaran living cost seharusnya bisa terus ditekan.

Ade kemudian menawarkan dua solusi untuk mengatasi polemik usul kenaikan biaya haji. Pertama, pemerintah melalui BPKH perlu adil dan proporsional dalam membagikan nilai manfaat kepada calon jemaah. Menurutnya, tidak seharusnya setiap jemaah menerima besaran flat nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta seperti yang direncanakan. Ia meminta adanya perbedaan nominal dengan sistem proporsional wilayah.

Menurutnya, orang yang menabung atau menaruh uangnya untuk dana haji di berbagai daerah di Indonesia harus menerima nilai manfaat yang berbeda. Hal tersebut juga sejalan dengan perbedaan waktu tunggu calon jemaah tersebut.

"Sekarang kan dipukul rata semua. Ini yang saya kira pemenuhan rasa keadilan perlu ditinjau ulang. Bagaimana supaya adil? Ya lakukan secara proporsional per wilayah kalau tidak bisa proporsional per orang," sarannya.

Kedua, pemerintah bisa langsung mempublikasikan mana calon jemaah haji yang mampu dan tidak membayar penuh besaran BPIH. Setelah besaran BPIH diketok, pemerintah harus mengumumkan dan menawarkan kepada calon jemaah yang punya kemampuan dan kesanggupan untuk membayar full tanpa perlu dana campuran optimalisasi apapun dari BPKH.

"Kita hargai orang-orang yang mampu. Kita hargai orang yang berangkat reguler, tapi punya Mercy atau Alphard di rumahnya. Harusnya orang yang menggunakan dana ini paham. Jadi diberikan ruang oleh pemerintah kepada masyarakat yang punya kemampuan untuk membayar ongkos naik haji (ONH) full," jelas Ade.

"Bukan tidak setuju turun, turun harus, tapi di mana komponen yang bisa dirasionalisasikan? Bukan dipaksakan justru nanti pelayanannya berkurang. Biaya haji naik? Harus sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Pemerintah harus menjamin itu. Apa pelayanannya? Sampaikan," sambungnya.

Di lain sisi, Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah menjelaskan dalam rapat dengar pendapat (RDP) panitia kerja (panja) BPIH di Komisi VIII DPR RI bahwa ada pertumbuhan aset Rp20 triliun akibat tidak adanya keberangkatan haji pada 2020 dan 2021. Sedangkan, nilai manfaat yang digelontorkan pada 2022 dengan kuota haji 50 persen mencapai Rp6 triliun.

Menurutnya, saldo simpanan BPKH menjadi sekitar Rp15 triliun pada akhir tahun lalu karena sudah dikucurkan untuk subsidi sebesar Rp5 triliun hingga Rp6 triliun. Sementara itu, jika pada tahun ini kuota haji RI penuh sebesar 100 persen, maka total nilai manfaat yang harus disediakan BPKH menyentuh Rp12 triliun.

"Artinya di 2024 maka saldonya itu relatif sudah berada di kisaran Rp3 triliun. Itu yang akan menjadi biaya yang harus dialokasikan di 2024. Asumsi tanpa ada kenaikan BPIH, maka artinya di 2024, dengan asumsi biaya (subsidi) sebesar Rp12 triliun, ada sekitar Rp9 triliun yang harus diambil dari dana pokok pengelolaan yang selama ini dikelola. Ini dengan asumsi sudah memasukkan semua nilai manfaat tahun berjalan, dari 2023 dan 2024," jelasnya.

Berdasarkan hitungan tersebut Fadlul mengatakan usulan komposisi biaya yang ditanggung jemaah dan penggunaan nilai manfaat berubah menjadi 70:30 persen dibandingkan sebelumnya dengan komposisi 40:60. Hal tersebut yang turut membuat BPKH memprediksi bahwa nilai manfaat dana haji terancam defisit pada 2025.

Nilai Manfaat Terancam Habis

Terpisah, Anggota Badan Pelaksana Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko BPKH Acep Riana Jayaprawira mengatakan jika proporsi nilai manfaat untuk BPIH tetap dipertahankan di angka 60 persen maka pada tahun berjalan saldo tersebut diproyeksikan tidak akan mampu menutup pengeluaran. Sehingga akumulasi nilai manfaat yang terkumpul akan habis terpakai untuk menambal defisit dan diperkirakan habis pada 2025.

"Padahal akumulasi nilai manfaat tersebut juga ada hak dari jemaah yang masih menunggu sehingga untuk prinsip keadilan maka akumulasi nilai manfaat tidak boleh habis dan nilai manfaat tahun berjalan diharapkan tidak mengalami defisit," tutur Acep.

Lebih lanjut, Acep menjelaskan soal mengapa peruntukan dana untuk subsidi haji hanya bisa diambil dari nilai manfaat, di mana merupakan imbal hasil investasi yang dilakukan BPKH.

"Sesuai akad syariah atas dana haji, nilai manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan pokok dana jemaah dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji alias subsidi," jelasnya.

Ia menuturkan BPKH mengelola dana haji, baik reguler, khusus, hingga dana abadi umat (DAU), di mana masing-masing dana tersebut hanya boleh digunakan sesuai dengan peruntukannya. Acep menegaskan bahwa dana pokok jemaah tidak bisa dipakai sebagai subsidi haji.

"Subsidi hanya bisa diambil dari nilai manfaat yang dihasilkan, sesuai akadnya, selain nilai manfaat tersebut digunakan untuk membayar nilai manfaat kepada jemaah tunggu seluruhnya sebagai nilai manfaat virtual account (VA) dan untuk operasional BPKH," tandasnya.



(skt/sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER