Farras menilai kerja sama serupa ini harus ditingkatkan lagi untuk tahun-tahun ke depan.
"Dalam jangka panjang adalah dengan membangun ekosistem penyelenggaraan ibadah haji dari hulu ke hilir, sejak jemaah berangkat dari tanah air hingga kembali ke tanah air serta sejak masa persiapan hingga berakhirnya masa ibadah haji," paparnya.
Ekosistem ini bisa dibangun melalui pembangunan hotel atau akomodasi, penyediaan konsumsi, serta transportasi bagi jemaah haji, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada diungkapkan Peneliti Senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (PEBS UI) Budi Prasetyo.
Ia menilai pemerintah perlu melakukan optimalisasi secara jangka panjang. Budi membandingkan dengan Lembaga Tabungan Haji (LTH) Malaysia yang memiliki investasi di sektor riil akomodasi haji.
"Malaysia punya investasi riil di sektor akomodasi, dia punya hotel dan beberapa unit usaha lainnya. Jadi untuk penentuan BPIH ini memang menurut saya tidak mudah, namun perlu diusahakan," kata Budi saat dihubungi.
Kendati demikian, menurutnya, biaya haji memang mengalami kenaikan secara merata dan dirasakan oleh negara lain, termasuk Malaysia.
Saat ini, biaya haji yang diusulkan di Malaysia berkisar di RM31 ribu, sedangkan tahun lalu hanya RM28 ribu. Untuk itu, Budi memandang penentuan BPIH ini memang dilematis jika disandingkan dengan kondisi global.
"Perlu ada upaya jangka menengah dan panjang agar efisiensi BPIH dapat tercapai. Selain itu, optimalisasi nilai manfaat dana haji oleh BPKH juga perlu ditingkatkan agar nilai manfaat semakin besar sehingga Bipih yang harus dibayar jamaah menjadi lebih efisien," paparnya.
Selain itu, menurut Budi, ini pun salah satunya dipengaruhi oleh fluktuasi nilai mata uang rupiah kepada riyal atau dolar Amerika Serikat (AS).
"Termasuk di dalamnya biaya avtur, biaya runway, dan beberapa komponen biaya terkait operasionalisasi pesawat di bandara. Mayoritas dalam US Dollar atau Saudi Riyal ya, jadi ada terekspos risiko nilai tukar juga," terangnya.
Anggota Badan Pelaksana Kesekretariatan Badan dan Kemaslahatan BPKH Amri Yusuf ikut buka suara terkait hal ini. Menurutnya, selama ini BPKH tak ikut terlibat dalam penyusunan BPIH. Artinya, seluruh komponen biaya itu ditetapkan oleh Kementerian Agama.
Padahal, jika dibandingkan dengan Lembaga Tabung Haji (LTH) atau pengelola keuangan haji di Malaysia, LTH juga memiliki kewenangan untuk mengatur komposisi biaya haji. Mekanisme ini dinilai bisa memaksimalkan upaya efisiensi biaya yang ditanggung jemaah.
Selain itu, Amri juga menyadari salah satu alasan mahalnya BPIH adalah biaya pesawat.
"Kenapa semahal itu? Karena kita bayar empat flight, dia berangkat penuh, pulangnya kosong, berangkat jemput kosong, dan pulang penuh, itu kita bayar semuanya. Jadi kita bayar empat kali penerbangan buat orang pulang pergi," kata Amri pada CNNIndonesia.com, Jumat (3/2).
Lihat Juga : |
Hal itu disebabkan Garuda Indonesia sebagai mitra penerbangan yang bekerjasama dengan Kemenag harus menyewa pesawat. Sementara, hitungan yang digunakan saat menyewa adalah running hours atau jam pemakaian.
"Ini lagi dinego, bisa nggak yang ditanggung jemaah haji itu tidak 100 persen seat yang kosong itu, tapi 50:50. Jadi 50 persen mereka (Garuda) yang tanggung," katanya.
Lebih jauh, BPKH juga menawarkan kepada Garuda untuk memberikan uang muka (down payment/DP) sewa kepada vendor penerbangan. Pasalnya, selama ini Garuda mesti meminjam pada bank untuk uang muka ini. Mekanisme ini justru membuat biaya penerbangan semakin mahal.
"Garuda ini kalau sewa pesawat ini dia enggak punya duit, pinjamnya ke bank. Ya sudah kita saja yang bayar DP-nya, anda nggak usah pinjam bank, kita kasih DP buat anda, jadi kan itu motong cost. Kalau kita berangkat umroh kan cuma Rp11 juta, ini Rp33 juta karena 4 kali," ungkap Amri.