ANALISIS

Kebijakan HET yang Hanya Formalitas dan Lonjakan Harga Pangan

CNN Indonesia
Kamis, 30 Mar 2023 07:10 WIB
Pemerintah telah menetapkan kebijakan HET untuk beberapa komoditas pangan. Namun, realitas yang ada harga jual pangan justru melambung jauh di atas HET. (Nyoman Budhiana).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah diminta bertanggung jawab atas lonjakan harga pangan yang melebihi harga eceran tertinggi (HET) atau harga acuan, terlebih di bulan puasa dan lebaran seperti saat ini.

Padahal, kebijakan HET silih berganti. Teranyar, ada Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Kedelai, Bawang Merah, Cabai Rawit Merah, Cabai Merah Keriting, Daging Sapi/Kerbau, dan Gula Konsumsi.

Selain itu, ada Perbadan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Jagung, Telur Ayam Ras, dan Daging Ayam Ras. Beleid ini ditetapkan pada 5 Oktober 2022.

Harga telur di tingkat konsumen dipatok paling mahal Rp27 ribu per kg, sesuai Perbadan Nomor 5 Tahun 2022. Faktanya, harga telur menembus Rp29 ribu hingga Rp31 ribu per kg di Pasar Kemiri Muka dan Pasar Depok Jaya, per 29 Maret 2023.

Kemudian harga acuan daging sapi segar yang dipatok paling mahal Rp140 ribu per kg untuk bagian paha belakang. Namun, harga daging sapi di pasar masih tinggi menembus Rp160 ribu per kg.

Paling viral adalah Minyakita yang merupakan minyak goreng besutan pemerintah. Meski HET dipatok di angka Rp14 ribu per liter dan Rp28 ribu untuk ukuran 2 liter, pedagang menjualnya dengan harga Rp16 ribu-Rp17 ribu per liter dan Rp31 ribu untuk versi 2 liter.

Pemerhati Pertanian sekaligus Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (KIBAR) Syaiful Bahari meminta tanggung jawab pemerintah atas fenomena ini.

Menurutnya, pemerintah harus sudah memprediksi faktor-faktor kenaikan biaya di sektor hulu sehingga bisa mengambil kebijakan yang tepat.

"Selama ini pemerintah hanya mengambil jalan pintas untuk mempertahankan HET. Dari tahun ke tahun pendekatannya tidak berubah. Dalam kasus beras akhirnya mengambil jalan impor," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/3).

Syaiful menyebut seharusnya pemerintah membuat peraturan perizinan yang ketat dalam situasi kelangkaan komoditas, seperti penetapan jumlah kuota impor. Terlebih, ada potensi monopoli dan jual beli kuota impor yang marak di tengah harga tinggi.

"Seringkali regulasi yang dibuat pemerintah justru menciptakan HET tidak berjalan. Seperti peraturan dan birokrasi yang panjang untuk pengadaan komoditas pangan sehingga menghambat penyediaan komoditas dan supply yang cukup," kritik Syaiful.

Menurutnya, HET adalah instrumen penting yang juga digunakan untuk mengendalikan inflasi. Tujuan utama HET adalah mencegah permainan harga demi mengambil keuntungan tinggi, di saat supply dan demand berjalan normal.

Namun, Syaiful menyebut pemerintah kerap mematok HET tanpa melihat realitas di lapangan. Ia merinci tiga faktor yang membuat HET tidak berjalan efektif sehingga terjadi lonjakan harga pangan.

Pertama, ketersediaan barang berkurang di saat permintaan tetap atau lebih tinggi. Kedua, ada faktor yang mengganggu rantai pasok dalam bentuk monopoli dan penimbunan ketika produksi dan supply cukup. Ketiga, kenaikan biaya produksi yang mempengaruhi harga pasar.

Terkait sanksi pedagang yang menjual bahan pokok di atas HET atau harga acuan, Syaiful menyebut itu adalah wewenang Satgas Pangan dan aparat penegak hukum (APH). Namun, ia menilai tidak relevan jika pedagang harus dihukum karena menjual bahan pokok di atas HET.

"Terkecuali mereka menimbun barang. Apakah tepat cara-cara kriminalisasi terhadap mereka, sementara pemerintah tidak pernah memperbaiki keseimbangan supply dan demand di pasar?" tanya Syaiful skeptis.

Ia meminta HET tidak hanya dilihat dari kepentingan pemerintah menjaga inflasi, melainkan harus dilihat juga dari kepentingan semua pihak terkait, seperti petani, industri pengolahan, pedagang, dan konsumen.

Senada, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengkritik keras efektivitas HET yang ditetapkan pemerintah. Menurutnya, aspek pengawasan dan penegakan aturan menjadi kunci penting efektivitas kebijakan HET.

Ia menyinggung HET yang tidak bisa diterapkan seragam di seluruh wilayah Indonesia yang merupakan kepulauan. Pasalnya, kerap terjadi kelangkaan di wilayah tertentu dan membuat lonjakan harga.

Soal hukuman, Said mengatakan produsen atau pedagang biasanya hanya dikenakan sanksi administratif jika menjual bahan pokok di atas HET. Ia menyayangkan hal tersebut karena hanya sebatas hukuman ringan.

"Jika ada penegakan bukan tidak mungkin terjadi efek jera. Pada tahap lebih lanjut jika menyebabkan guncangan stabilitas pangan bisa juga dikejar dengan perundang-undangan sehingga sanksinya tidak hanya administratif, namun bisa pidana," ucapnya.

Said menegaskan efektivitas HET sangat ditentukan oleh desain HET yang dibuat pemerintah dan penegakan hukumnya. Ia menyarankan HET terus dikoreksi sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan dinamika pasar dan antarwilayah.



Penetapan HET tak sesuai realita


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :