Yusuf merinci enam masalah hilirisasi ala Jokowi yang tak diungkap ke publik.
Pertama, hilirisasi nikel punya ketergantungan sangat tinggi kepada modal asing, terutama dari China. Ia mencatat pemurnian dan pengolahan nikel sangat didominasi oleh asing, terutama smelter China yang relokasi ke Indonesia untuk mendapatkan bahan baku.
Menurutnya, penanaman modal asing (PMA) mencapai 91,3 persen dari total investasi di industri logam dasar pada 2020-2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, hilirisasi nikel yang sangat didominasi modal asing berdampak terhadap melemahnya pendapatan valuta asing (valas) dan stabilitas nilai tukar rupiah. Ini adalah imbas pendapatan ekspor smelter yang kebanyakan dipulangkan kembali ke perusahaan induk penanam modal.
Dengan kata lain, surplus neraca perdagangan Indonesia yang terlihat besar tak berarti banyak karena surplus dalam transaksi berjalan tetap kecil.
Ketiga, Yusuf menegaskan sejatinya penerimaan negara dari hilirisasi cenderung rendah. Ia menilai pelarangan ekspor bijih nikel membuat harga nikel di pasar domestik jatuh, jauh di bawah harga internasional.
"Harga bijih nikel yang jatuh membuat penerimaan royalti jauh menurun. Dengan sebagian besar investasi di hilirisasi mendapatkan tax holiday, maka penerimaan pajak perusahaan juga cenderung minim. Dengan sebagian besar produk smelter diekspor dan tidak dikenakan pungutan, maka pendapatan negara dari PPN dan pajak ekspor juga minim," jelas Yusuf.
Keempat, ia menduga kebijakan hilirisasi berbasis pelarangan ekspor bijih tambang telah memicu ekspor dan penambangan nikel illegal dalam jumlah signifikan. Menurutnya, negara malah banyak merugi dengan hanya mengandalkan pelarangan ekspor tanpa penegakkan hukum yang jelas.
Menurutnya, pelarangan ekspor bijih nikel dan harga patokan mineral (HPM) bijih nikel di pasar domestik yang 50 persen jauh lebih rendah dari harga internasional adalah dalang ekspor bijih nikel illegal. Yusuf menuding praktik ilegal ini dilakukan terutama oleh pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak terafiliasi dengan smelter.
Lihat Juga : |
Ia lantas menyinggung temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal indikasi ekspor illegal bijih nikel ke China hingga 5,3 juta ton dalam rentang Januari 2020 hingga Juni 2022.
Kelima, Yusuf mengkritik soal penerimaan upah dan gaji pekerja hilirisasi yang juga rendah karena smelter sifatnya sangat padat modal. Penerimaan perusahaan pemegang IUP lokal yang tidak berafiliasi ke smelter juga anjlok akibat HPM bijih nikel di pasar domestik sangat rendah.
"Nilai tambah hilirisasi dari penciptaan lapangan kerja yang kecil ini pun masih harus dibagi antara tenaga kerja asing (TKA) dan lokal karena perusahaan smelter China banyak membawa tenaga kerja dari negaranya, termasuk tenaga kerja tidak terlatih yang seharusnya menjadi 'jatah' pekerja lokal," ungkapnya.
Keenam, ia menilai nasionalisme ekonomi dari kebijakan hilirisasi tambang berupa peningkatan nilai rantai produksi di dalam negeri sudah berbelok arah. Begitu pula dengan niat Indonesia memutus ketergantungan pada pasar global sebagai pemasok bahan mentah.
Industri antara dan hilir domestik yang belum beroperasi hingga kini membuat industrialisasi berbasis ekstraksi dan pengolahan nikel yang sangat terkonsentrasi hanya berfokus di 3 daerah, yakni Morowali, Halmahera Selatan, dan Halmahera Tengah. Hal ini pada akhirnya membuat Indonesia malah makin mendukung kapitalis global.
"Secara ironis justru telah menyeret Indonesia semakin dalam di pusaran kapitalisme global sebagai pemasok nikel setengah jadi dengan kapital raksasa China sebagai aktor utama," kritik Yusuf.
"Ketiadaan permintaan pasar domestik membuat produk setengah jadi dari smelter-smelter nikel nyaris seluruhnya diekspor sehingga manfaat penciptaan nilai tambah dari hilirisasi justru dinikmati oleh industri di luar negeri. Glorifikasi keberhasilan hilirisasi dengan merujuk nilai ekspor nikel dan produk turunannya justru menjadi ironi besar," sambungnya.
Yusuf menegaskan Jokowi beserta jajaran seharusnya berbenah soal kebijakan hilirisasi tambang. Terlepas dari rayuan IMF, hilirisasi ala Jokowi memang kudu dievaluasi, terutama soal proses transfer teknologi dan perlindungan lingkungan.
Tanpa rencana transfer teknologi, penguasaan industri oleh entitas domestik, perlindungan lingkungan hidup yang ketat, serta pengembangan industri hilir secara simultan, Yusuf menilai kebijakan hilirisasi cuma menjadi instrumen industrialisasi negara lain. Pada akhirnya, Indonesia hanya menjadi tempat relokasi industri kotor yang sangat tidak ramah lingkungan sekaligus menjadi pemasok barang setengah jadi yang murah ke kapitalis global.
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna juga satu suara dengan tiga pengamat lainnya. Ia meminta Indonesia tidak menutup diri rapat-rapat dari masukan IMF tersebut.
Menurutnya, Jokowi dan para pembantunya cukup merespons secara terbuka masukan lembaga keuangan internasional itu. Putra meminta pemerintah bisa menyajikan objektivitas data riil yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis terkait pelarangan ekspor bahan mentah dan hilirisasi.
"Sebagai negara berdaulat tentunya Indonesia memiliki ruang berargumentasi. Namun, pro dan kontra dari nilai tambah perlu dijelaskan dengan objektif, utamanya kepada publik," tegas Putra.
Namun, bukan berarti Indonesia kudu tunduk terhadap IMF. Apalagi, saat ini pemerintah tidak punya utang apa pun ke lembaga tersebut.
(skt/agt)