Pemerintah dan DPR sepakat menghapus ketentuan anggaran belanja wajib (mandatory spending) untuk sektor kesehatan yang ditetapkan lima persen dari APBN per tahunnya.
Penghapusan ini pun dituangkan dalam UU Kesehatan terbaru, yang telah disepakati dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (11/7) kemarin.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan kewajiban alokasi minimal anggaran kesehatan harus dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar lima persen untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuannya. Tujuan kita bukan besarnya mandatory spending, tapi adanya komitmen spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program-program di sektor itu bisa berjalan," ujar Budi.
Lalu, berapakah realisasi anggaran kesehatan selama ini?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dirangkum CNNIndonesia.com, Jumat (14/7), realisasi anggaran kesehatan dalam lima tahun terakhir bervariasi. Tapi memang, saat pandemi covid-19 terjadi, realisasinya melebihi mandatory spending lima persen.
Adapun anggaran kesehatan digunakan untuk pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta PBI (penerima bantuan iuran) dan peserta PBPU kelas III, hingga pengadaan alat kesehatan. Lalu, pada saat covid-19, anggaran juga digunakan untuk klaim perawatan pasien covid-19, pengadaan vaksin, hingga insentif tenaga kesehatan (nakes).
Realisasi anggaran kesehatan terbesar terjadi pada 2021 yang tembus Rp291,4 triliun atau naik 69 persen dari 2020 yang sebesar Rp172,3 triliun. Hal ini dikarenakan kondisi pandemi covid-19.
Secara rinci, pada 2019 total realisasi anggaran kesehatan yang berasal dari Kementerian/Lembaga (K/L), non K/L dan pemerintah daerah (pemda) sebesar Rp113,6 triliun. Nilai ini tercatat sebesar 4,61 persen dari total belanja negara (APBN) sebesar Rp2.461,11 triliun.
Artinya, anggaran kesehatan di 2019 tidak tercapai 100 persen dari mandatory spending minimal lima persen. Di tahun itu, kondisi Indonesia belum pandemi atau darurat kesehatan. Sebab, virus corona baru muncul pada awal Maret 2020.
Pada 2020, realisasi anggaran kesehatan meningkat tajam yakni 51,6 persen atau menjadi Rp172,3 triliun. Anggaran itu berasal dari K/L sebesar Rp121,7 triliun, non K/L sebesar Rp13,44 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp37,11 triliun.
Dengan adanya pandemi, maka realisasi belanja kesehatan 2020 melebihi lima persen atau tembus 6,2 persen dari total belanja APBN 2020, yang dipatok sebesar Rp2.739,2 triliun (berdasarkan Perpres 72/2020).
Lalu, pada 2021 yang masih diselimuti pandemi, belanja kesehatan masih naik tajam atau terealisasi Rp291,4 triliun yang berasal dari belanja K/L Rp212,48 triliun, non K/L Rp12,41 triliun dan TKDD sebesar Rp66,49 triliun.
Realisasi anggaran kesehatan ini tercatat melebihi batas minimal alokasi wajib lima persen. Sebab, terealisasi 6,42 persen dari total belanja APBN yang dipatok sebesar Rp2.750,03 triliun di APBN 2021.
Kemudian, pada 2022 realisasi anggaran kesehatan mengalami penurunan menjadi Rp176,7 triliun, yang berasal dari belanja K/L sebesar Rp130,3 triliun, belanja non K/L Rp10,6 triliun dan belanja TKDD sebesar Rp 35,8 triliun.
Bila dilihat, realisasi anggaran kesehatan 2022 tercatat sebesar 5,69 persen dari pagu belanja negara di Perpres 98/2022 Rp3.106,4 triliun. Artinya, angka ini melebihi mandatory spending lima persen.
Sementara, pada tahun ini realisasi anggaran kesehatan baru mencapai Rp53,5 triliun hingga akhir Juni 2023. Jika dibandingkan 2021 dan 2021, realisasi per semester I ini mengalami penurunan, namun bila dibandingkan 2019 dan 2020 masih lebih tinggi.
(ldy/pta)