Di depan ratusan hadirin di arena Pameran Industri Hannover Masse, Jerman, pada April 2023 lalu, Presiden Joko Widodo berikrar seluruh PLTU di Indonesia akan ditutup tahun 2050. Sebagai gantinya akan dibangun pembangkit berbahan bakar energi terbarukan (EBT).
Menurutnya, ini bukan omdo alias omong doang. "We walk the talk, not only talk the talk," kata Presiden.
Target penutupan ini sudah lebih dulu disepakati saat pemerintah Indonesia dan mitra internasional meneken kesepakatan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) di sela KTT G20 Indonesia November lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai saat ini, 88 persen listrik di Indonesia dibangkitkan dengan bahan bakar fosil terutama batubara.
Anggota Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), industri yang langsung terdampak keputusan ini, mengaku belum tahu akan seperti apa detil realisasinya.
Sekitar 30 perusahaan pemangkit APLSI saat ini memiliki kapasitas terpasang mendekati 19 GW dengan mayoritas berbahan bakar batubara. Sebagian kecil merupakan pembangkit energi terbarukan (EBT) seperti panas bumi.
Sebagai pemasok listrik PLN, sebagian anggota APLSI sudah terikat perjanjian pembelian (purchasing power agreement) selama 30 tahun. Lewat perjanjian ini, daya listrik yang dihasilkan mereka akan dibeli PLN.
Sampai tahun ini, masih ada pembangkit baru dioperasikan, atau bahkan dalam tahap konstruksi. Konsekuensinya, untuk memenuhi target Jokowi, sebagian pembangkit harus dipensiun-dinikan secara paksa.
"Selama aturan main (pemensiunan)-nya jelas, ada ketentuan yang spesifik mengenai contractual agreement, pendanaan, timeline yang konkrit dan pelaksanaan tender yang transparan untuk transisi ke EBT, dari kami tidak masalah," kata Arthur Simatupang, Ketua APLSI, saat dihubungi Juli lalu.
Langkah menuju terminasi PLTU, menurut PLN sudah mulai dilakukan. Termasuk di antaranya dengan pemilik PLTU yang sudah mengantongi PPA.
"PLN telah menghapus 13 GW PLTU dari perencanaan. Ini bisa menurunkan sekitar 1,8 miliar ton CO2 dalam 25 tahun ke depan.... PLN berhasil melakukan terminasi 1,3 GW PLTU yang sudah menandatangani Power Purchase Agreement (PPA). Ini menurunkan emisi sekitar 175 juta ton CO2 dalam 25 tahun ke depan," kata Gregorius Adi, juru bicara PLN dalam pesan tertulis kepada CNN Indonesia.
PLN menurut Adi juga berencana mengganti 1 GW PLTU dengan EBT Baseload, dengan 800 MW PLTU dikurangi dan diganti dengan pembangkit gas.
Selain bagi PLTU dan pekerjanya, penutupan pembangkit akan punya konsekuensi serius pada industri batubara nasional. Sampai 2020 menurut catatan Kementerian ESDM, diperkirakan 150 ribu orang pekerja dalam industri tambang batubara.
Kontribusi penerimaan negara bukan pajak dari batubara merupakan 80% dari total industri tambang Indonesia. Jumlahnya pada tahun 2021 di tengah booming harga batubara mencapai lebih dari Rp60 triliun rupiah.
"Karena itu mendesak sekali daerah-daerah utama penghasil batubara mulai bersiap, bagaimana tetap hidup dan tumbuh setelah era batubara. Karena nanti dampaknya akan jangka panjang dan sistemik," tukas Direktur pembaga peneliti kebijakan energi IESR, Fabby Tumiwa.
Provinsi Kalimantan Timur, menurut Fabby adalah contoh daerah yang 40 persen perekonomiannya ditopang tambang batubara. Menutup PLTU diprediksi akan sangat memukul perekonomian lokal, termasuk Pendapatan Asli Daerahnya.
Namun saat mengajak pejabat daerah berdiskusi tentang masa depan wilayah pasca-batubara, menurut Fabby, pejabat daerah tak respon.
"Kami sudah komunikasi dengan (pejabat) Kaltim, Kalsel untuk raise isu ini. Hanya kan sekarang (harga) batubara lagi tinggi. Mana ada yang percaya waktu dibilang batubara suatu saat akan turun digantikan yang lain. Susah karena fokusnya jangka pendek," ujarnya lagi.
CNN Indonesia juga telah menghubungi pejabat setingkat Gubernur, Bappeda, Bupati, Dinas Pertambangan hingga Humas di Jambi, Sumsel, Kaltim, Samarinda dan Kutai Timur. Namun hingga hari ini tak ada satupun yang menjawab daftar pertanyaan yang sudah diajukan.