ANALISIS

Mencari Jalan Tengah Atasi Sengkarut Truk ODOL

CNN Indonesia
Kamis, 03 Jul 2025 07:12 WIB
Pengamat mengimbau pemerintah mengubah pendekatan dalam mengatasi akar permasalahan truk ODOL yakni dengan menertibkan dari sisi hulu, yakni pemilik barang.
Pengamat mengimbau pemerintah mengubah pendekatan dalam mengatasi akar permasalahan truk ODOL yakni dengan menertibkan dari sisi hulu, yakni pemilik barang. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ratusan sopir truk berunjuk rasa terkait kebijakan bebas kendaraan kelebihan muatan atau zero over dimension over loading (ODOL) di Jakarta pada Rabu (2/7).

Mereka meminta kejelasan penerapan aturan itu agar tidak mengkriminalisasi para sopir.

Sejumlah perwakilan sopir truk sebenarnya sempat diterima Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Aan Suhanan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para sopir meminta Aan memberi jaminan aturan Zero ODOL ditunda. Namun, Aan menyatakan tidak berwenang melakukan hal itu.

"Tidak ada titik temu, kami cukup kecewa. Kami tadi sudah menunggu cukup lama, bahkan di gerbang, tetapi ternyata yang menemui hanya seorang dirjen dari Kementerian Perhubungan," ucap Presiden Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia Irham Ali Saifuddin setelah audiensi di Kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (2/7).

Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi melalui keterangan resminya mengatakan ODOL menyebabkan 'dosa' mengerikan di berbagai aspek.

Dosa yang dimaksud itu meliputi kecelakaan lalu lintas dengan korban luka hingga korban jiwa, kemacetan di sejumlah ruas jalan, kerusakan infrastruktur jalan, bahkan peningkatan polusi udara di berbagai daerah.

"Data Korlantas Polri menyebutkan, terdapat 27.337 kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang pada tahun 2024. Sementara data Jasa Raharja menunjukkan bahwa kendaraan ODOL jadi penyebab kecelakaan nomor dua, di mana pada tahun 2024 tercatat ada 6.390 korban meninggal dunia yang diberikan santunan," ujar Dudy.

Terkait kerusakan infrastruktur, ia menyebut diperkirakan butuh anggaran sekitar Rp43,47 triliun per tahun untuk melakukan perbaikan jalan rusak yang salah satunya disebabkan oleh kendaraan ODOL.

Maka dari itu menurut Dudy Kementerian Perhubungan tidak menerbitkan aturan baru terkait angkutan ODOL tahun ini.

Kemenhub hanya akan menjalankan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekaligus mengingatkan kembali komitmen zero ODOL yang telah disepakati sejak 2017.

Pernyataan Dudy pun itu dijawab oleh sejumlah asosasi sopir truk. Ketua Asosiasi Sopir Logistik Indonesia (ASLI) Slamet Barokah mengaku kecewa terhadap pemerintah yang selalu menyalahkan sopir terkait ODOL.

Dia tidak terima sopir-sopir truk dituduh merugikan negara triliunan rupiah karena merusak jalan. Slamet pun bertanya balik ke pemerintah berapa rupiah perputaran ekonomi yang selama ini bergerak karena kehadiran para sopir truk.

"Kami penggerak roda perekonomian. Bayangkan kalau tidak ada pengemudi Indonesia, apa bisa ekonomi ini berjalan dengan lancar?" kata Slamet pada jumpa pers di Kantor DPP Konfederasi Sarbumusi, Jakarta Pusat, Selasa (1/7).

"Tolong cari penyebab kenapa kami Itu ODOL. Jangan tahu-tahu langsung diterapkan tanpa mencari solusinya," ucap Slamet.

Lantas apa yang membuat polemik ODOL tak kunjung menemukan titik terang? Apa solusi yang harus dilakukan?

Pengamat Transportasi Muhammad Akbar mengatakan demo sopir truk terkait ODOL seharusnya tidak dianggap sekadar bentuk penolakan terhadap penegakan hukum semata.

Aksi mereka, menurut Akbar, mencerminkan puncak gunung es dari sistem logistik yang tidak baik hingga penegakan hukum yang sering tebang pilih.

"Persoalan ODOL bukan hal baru, ia sudah berlangsung bertahun-tahun. Truk-truk gendut dengan muatan melampaui batas dan berdimensi berlebih dibiarkan berlalu lalang di jalan raya, seolah-olah pelanggaran ini adalah sesuatu yang normal dan bisa dimaklumi. Namun sayangnya, langkah penyelesaiannya selalu setengah hati," kata Akbar kepada CNNIndonesia.com.

Akbar mengatakan selama ini penanganan ODOL cenderung menggunakan pendekatan "quick fix" di mana razia di jalan hanya menyasar sopir, tanpa menyentuh akar masalah. Padahal sopir bukan lah pihak yang menentukan ukuran bak truk, apalagi jumlah muatan yang harus dibawa.

Sering kali, mereka bahkan tak punya pilihan untuk menolak ketika diminta membawa beban berlebih. Mirisnya ketika menolak, mereka kehilangan pekerjaan.

"Maka ketika mereka turun ke jalan, itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan seruan keadilan. Jangan hanya menghukum yang menjalankan, sementara yang memerintah justru dibiarkan lepas tangan. Sopir ditilang, truk ditahan, sedangkan pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab, yaitu pemilik barang, pemilik truk, hingga karoseri, nyaris tak tersentuh," katanya.

Akbar mengatakan kunci penertiban ODOL ada di hulu, bukan sekadar di jalan. Pemerintah, sambungnya, harus berani mengubah pendekatannya secara mendasar.

Menurutnya, penegakan hukum tidak cukup berhenti di hilir yakni pada sopir di jalan atau petugas lapangan. Fokus utama seharusnya menyasar para pengambil keputusan yakni pemilik barang yang memuat barang berlebihan dan pemilik armada yang memberi izin operasional.

"Imbauan atau sanksi administratif saja tidak cukup. Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah yang lebih menyeluruh dan berani dalam menelusuri struktur pelanggaran ini, agar tidak terus tumbuh anggapan bahwa penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas," terangnya.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Perlu Dukungan Politis

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER