Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka-bukaan soal hasil kesepakatan dagang RI-AS yang berujung pada penurunan tarif dagang dari 32 persen menjadi 19 persen untuk produk Tanah Air.
Salah satu komentar ia berikan terkait kesiapan Indonesia melakukan pertukaran data pribadi warga RI ke AS.
Asal tahu saja, isu kesanggupan Indonesia menukarkan data pribadi warganya ke AS ini muncul dalam Agreement on Reciprocal Trade (ART) yang dirilis Gedung Putih pada 22 Juli 2025. Presiden AS Donald Trump menegaskan penurunan tarif resiprokal 32 persen menjadi 19 persen harus 'ditukar' dengan akses data pribadi warga Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebetulnya beberapa data pribadi kan merupakan praktik dari masyarakat pada saat daftar di Google, Bing, melakukan (jual beli di) e-commerce, dan yang lain. Pada saat membuat email, akun, itu kan data upload sendiri," beber Airlangga dalam Konferensi Pers Joint Statement Indonesia-AS di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (24/7).
"Ini tentu data pribadi, kesepakatan Indonesia dan Amerika adalah membuat protokol untuk itu. Jadi, finalisasinya bagaimana ada pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur untuk tata kelola lalu lintas data pribadi antar-negara atau cross border dari data pribadi tersebut," jelasnya soal konteks pemberian akses data pribadi warga Indonesia kepada AS.
Anak buah Presiden Prabowo Subianto itu juga mencontohkan akses data pribadi warga Indonesia dikantongi asing saat melakukan transaksi keuangan. Misalnya, transaksi yang menggunakan Mastercard hingga Visa.
Menko Airlangga Hartarto menyebut pemberian akses data tersebut terkait dengan prinsip know your customer (KYC). Kendati demikian, ia menegaskan tak sekonyong-konyong data tersebut bisa disalahgunakan.
"Itu ada mekanismenya sendiri, bahkan dalam payment system kan tidak bisa dipakai begitu saja. Ada security lain, seperti OTP (on-time password) dan yang lain. Sehingga data security itu menjadi penting dan inilah yang diperlukan protokol kuat untuk melindungi data dalam transaksi, baik itu digunakan melalui cloud computing maupun ke depannya akan semakin banyak lagi penggunaan AI (kecerdasan buatan)," jelasnya.
"AI adalah data mining atau scrolling dari seluruh data-data yang ada di digital. Nah, kemudian data tersebut tentu terus diawasi oleh otoritas Indonesia yang juga berdasarkan kehati-hatian dan berdasarkan hukum nasional tentang perlindungan data pribadi. Pemerintah memastikan bahwa data ini dilakukan dalam kerangka yang secure, reliable, dan data governance," imbuh Airlangga.
Airlangga mengklaim tata kelola tersebut bakal menjadi dasar hukum untuk perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia. Namun, ia tak merinci lebih lanjut kapan finalisasi tersebut rampung.
Ia hanya menegaskan akses data tersebut dibutuhkan agar tidak muncul fraud, apalagi meloloskan pihak-pihak yang masuk blacklist.
"Jadi, sebetulnya data ini yang isi masyarakat sendiri-sendiri pada saat mereka mengakses program. Tidak ada pemerintah mempertukarkan data secara government to government (G2G), tapi adalah bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut bisa memperoleh data, memperoleh konsen dari masing-masing pribadi," tegas Menko Airlangga.
"Semua kan masing-masing pribadi. Pada saat download news atau mau subscribe media kadang-kadang kita ditanya email, kalau enggak, beritanya gak ditampilkan," imbuhnya.
(skt/agt)