ANALISIS

Mengurai Pemicu Terus Ngegas Harga Beras di Tengah 'Banjir' Cadangan

Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Selasa, 12 Agu 2025 07:31 WIB
Per Agustus, harga beras naik di 191 daerah, yang tertinggi tembus Rp54 ribu per kg. Keliru kebijakan hingga struktur pasar tak efisien dinilai jadi masalah.
Agar Harga Bisa Direm (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)

Eliza menyebutkan untuk bisa menekan biaya produksi, akan sangat baik apabila petani tergabung dalam koperasi dan memiliki unit penggilingan sendiri (rice milling unit). Sebab, mereka bisa menjual langsung dalam bentuk beras dengan nilai tambah lebih tinggi dan rantai distribusi yang lebih pendek.

Selain itu, memastikan harga sewa lahan tidak naik signifikan juga menjadi penentu untuk mengurangi biaya produksi para petani.

"Salah satunya adalah dengan cara mekanisasi di sektor pertanian dan harga sewa lahan pertanian yang kenaikannya wajar. Selain menekan dari sisi biaya produksi, juga produktivitasnya ditingkatkan sehingga secara volume akan bertambah meski keuntungan kecil," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyebutkan permasalahan beras di Tanah Air akan selalu sama, harga naik dan stok terbatas. Cara untuk mengatasinya adalah pemerintah harus memperbaiki tata kelola pangan.

Andreas mengatakan ada empat golden rules yang harus ditaati untuk mengelola pangan di Indonesia, terutama beras. Pertama, Pemerintah harus hati-hati dalam menerjemahkan sinyal harga.

"Dan itu pun pemerintah nggak hati-hati. Ketika kemarin itu harga beras mulai mengalami kenaikan, di tengah klaim pemerintah yang produksinya melonjak luar biasa, stok Bulog terbesar sepanjang sejarah, tapi kok tiba-tiba harga naik?," kata Andreas.

Ia mengatakan pemerintah belum bisa mengantisipasi sinyal kenaikan harga. Justru ia melihat bahwa pemerintah mengalihkan fokus dari masalah sebenarnya dengan mencari isu lain.

"Lalu apa yang dilakukan pemerintah? Kemudian pemerintah mencoba cari jawabannya dengan yang kita tahu, yang gegeran saat ini, beras oplos dan lain sebagainya," jelasnya.

Kedua, pemerintah dinilai perlu menguatkan kebijakan berbasis fakta atau yang seringkali kita kenal sebagai evidence-based policy.

"Dan itu pun juga dilanggar. Fakta yang terjadi seperti apa? Fakta yang terjadi itu, dari 3,2 juta ton surplus beras Januari-Juni, 2,8 juta ton sudah diserap pemerintah. Itu faktanya. Sehingga yang tersedia di pasar itu (stok) kecil. Ya rebutanlah. Itu fakta yang terjadi. Tapi kemudian kan isunya dibelokkan ke oplosan akhirnya, yang nggak nyambung," tegasnya,

Ketiga, lembaga-lembaga yang menyimpan stok pangan pemerintah harusnya independen, sehingga bisa mengelola in-out dengan baik. Aturan ini katanya berlaku di banyak negara karena aturan internasional.

"Bagi Indonesia yang terjadi kan nggak independen). Karena coba lihat aja lah. Dalam tempo yang sangat cepat, kepala Bulog berganti-ganti. Tentu tidak independent, kan," terangnya.

Keempat, ia menekankan seharusnya pemerintah hanya bisa menguasai maksimal 10 persen dari total beras yang beredar di masyarakat. Artinya, 90 persen dibiarkan untuk dikelola pengusaha.

Dengan demikian, maka Pemerintah dan pengusaha harus kompak menjaga dan memastikan harga beras di pasar stabil. Bukan seperti saat ini, keduanya saling curiga.

"Dalam kondisi seperti itu di seluruh dunia, maka pemerintah harus menghindari konflik dan saling kecurigaan antara pemerintah dan swasta. Yang terjadi di Indonesia bagaimana? Saling curiga. Terjadi konflik dan saling kecurigaan," ucapnya.

Andreas menekankan apabila keempat golden rules itu tidak ditaati, maka masalah beras di Indonesia tak akan pernah selesai.

"Dan empat golden rule tersebut itu sudah terbukti di mana-mana di seluruh dunia. Ketika empat golden rule tersebut dilanggar, apa yang terjadi? Persis yang sekarang kita alami di Indonesia," pungkasnya.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER