ANALISIS

Mengapa Tiba-tiba Banyak Pemda Menaikkan PBB Gila-gilaan seperti Pati?

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Kamis, 14 Agu 2025 07:24 WIB
Gelombang kenaikan PBB di daerah dipicu diet ketat APBN sehingga pemda mencari sumber penerimaan instan, padahal ada opsi 'jalan pedang' yang bisa ditempuh.
Gelombang kenaikan PBB di sejumlah daerah dipicu diet ketat APBN sehingga pemda mencari sumber penerimaan instan. Ada 'jalan pedang' lain yang bisa ditempuh. (Foto: iStockphoto/sefa ozel)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) beberapa waktu terakhir.

Salah satunya Pati, Jawa Tengah yang berencana menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen. Namun, rencana tersebut dibatalkan setelah Presiden Prabowo Subianto menegur Bupati Pati Sudewo.

Meski batal, massa hari ini tetap menggelar aksi besar mengecam Sudewo. Massa aksi meminta Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain Pati, daerah lain yang juga menaikkan PPB-P2 Jombang, Jawa Timur. Salah satu warga Jombang bernama Heri Dwi Cahyono (61) mengaku terkejut ketika PBB tanah miliknya pada 2024 tiba-tiba naik 1.202 persen atau 12 kali lipat dibandingkan yang sudah dia bayarkan pada 2023.

Sementara itu, Bupati Jombang Warsubi mengungkap kenaikan PBB-P2 di daerahnya merupakan bagian dari penyesuaian peraturan daerah yang wajib dilakukan atas rekomendasi pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Menurutnya, perubahan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak diambil secara sepihak oleh Pemkab Jombang, melainkan berdasarkan rekomendasi pemerintah pusat.

PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

Bumi diartikan sebagai permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alias UU HKPD mengatur dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun, besaran NJOP ditetapkan oleh masing-masing kepala daerah.

Lantas kenapa daerah menaikkan PBB-P2? Bagaimana dampaknya? Adakah cara lain yang bisa dilakukan pemerintah daerah (pemda) selain menaikkan PBB-P2?

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengatakan gelombang kenaikan PBB-P2 di sejumlah daerah utamanya didorong oleh kebutuhan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tengah tuntutan kemandirian fiskal pasca-desentralisasi.

"PBB-P2 menjadi instrumen yang relatif cepat dan mudah dioptimalkan karena berbasis pada penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang kewenangannya berada di tangan pemerintah daerah," katanya pada CNNIndonesia.com.

Situasi ini, sambung Rizal, diperparah oleh perlambatan transfer pusat, berkurangnya dana bagi hasil sumber daya alam, dan stagnasi retribusi yang membuat target pendapatan daerah dalam APBD sulit tercapai. Akibatnya, banyak daerah memilih jalur instan dengan menaikkan tarif atau memperluas basis PBB-P2 ketimbang membangun sumber penerimaan baru yang perlu waktu.

Rizal mengatakan pemda memiliki opsi lain yang lebih berkelanjutan untuk menambah pendapatan, tanpa langsung menaikkan tarif PBB-P2. Langkah awalnya adalah memperluas basis pajak dengan memperbarui pendataan objek pajak secara digital, menutup kebocoran, dan memastikan semua wajib pajak teridentifikasi.

"Di luar sektor pajak, daerah dapat mengoptimalkan BUMD untuk sektor potensial seperti air bersih, energi, dan pariwisata lokal, serta mengelola aset daerah yang selama ini menganggur melalui skema kerja sama pemanfaatan atau KPBU," katanya.

Menurutnya, strategi ini memang butuh investasi waktu, kapasitas, dan tata kelola yang kuat, tetapi hasilnya lebih stabil dan tidak menciptakan beban mendadak bagi masyarakat dengan kenaikan PBB-P2.

Memaksakan kenaikan PBB-P2 secara drastis, sambungnya, berpotensi menciptakan tax shock yang memukul daya beli, terutama bagi kelompok rentan dan kelas menengah bawah. Resistensi publik bisa muncul dalam bentuk menunggak pembayaran, protes sosial, atau bahkan gugatan hukum terhadap penetapan NJOP.

Dalam jangka menengah, sambung Rizal, iklim investasi properti dan sektor pendukung seperti konstruksi dapat melemah, apalagi jika kenaikan pajak tidak diimbangi dengan perbaikan layanan publik.

"Risiko yang lebih serius adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah ketika pajak naik tanpa transparansi penggunaan, yang pada akhirnya menurunkan kepatuhan pajak secara sistemik dan mempersulit target pendapatan di masa depan," katanya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan lonjakan PBB-P2 di berbagai daerah lahir dari tekanan fiskal yang kian menguat. Kondisi ini disebabkan pemangkasan transfer ke daerah, pengetatan belanja pusat, serta kewajiban membiayai layanan publik yang memaksa pemda mencari sumber penerimaan instan.

PBB-P2 kemudian menjadi target empuk karena basis data objek pajak telah tersedia, mekanisme pungutan sudah mapan, dan proyeksi penerimaannya relatif pasti.

"Dalam logika birokrasi, menaikkan tarif pajak dianggap solusi cepat untuk menutup defisit fiskal daerah, meski risiko sosialnya sangat tinggi," katanya.

Menurutnya, memaksakan kenaikan PBB-P2 dalam skala besar berisiko memicu gelombang penolakan dan menurunkan kepatuhan wajib pajak. Rakyat yang merasa dibebani tanpa imbal balik layanan memadai akan kehilangan kepercayaan pada pemda. Efek jangka pendeknya berupa aksi protes dan penurunan penerimaan karena banyak yang mangkir bayar.

"Dalam jangka panjang, reputasi politik kepala daerah bisa runtuh, dan stabilitas sosial di wilayahnya terancam. Kebijakan fiskal yang tidak peka pada kondisi riil masyarakat akan selalu berbalik menjadi bumerang politik," katanya.

Syafruddin mengatakan kenaikan PBB-P2 sebenarnya bukan satu-satunya jalan. Pemda dapat mengoptimalkan retribusi jasa publik, mengelola aset daerah secara produktif, mendorong kerja sama pemanfaatan lahan strategis, serta memacu kinerja BUMD agar menghasilkan dividen lebih besar.

"Langkah-langkah ini memang membutuhkan waktu dan komitmen, tetapi hasilnya lebih berkelanjutan dan tidak langsung menekan daya beli masyarakat," pungkasnya.

[Gambas:Video CNN]

(pta)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER