11 Saran ke Purbaya Agar Uang Negara Tebal-Program Prabowo Terbiayai
Purbaya Yudhi Sadewa diangkat menjadi menteri keuangan baru menggantikan Sri Mulyani. Di pundaknya, beban berat menanti.
Selaku pemain pengganti, Purbaya mesti menuntaskan kerja-kerja APBN 2025 yang sebelumnya menjadi tugas Sri Mulyani. Ada tanggung jawab mengumpulkan pendapatan negara Rp3.005,1 triliun yang bahkan diprediksi tak akan tercapai di 2025.
Pada Outlook APBN 2025, Sri Mulyani sempat menjelaskan bahwa pemerintah diprediksi hanya sanggup mengantongi pendapatan Rp2.865,5 triliun.
Beberapa sumber penerimaan negara hilang, seperti Rp71 triliun imbas batalnya pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen hingga Rp80 triliun lainnya dari dividen BUMN yang resmi diambil Danantara.
Sedangkan kebijakan efisiensi yang diperintahkan Prabowo ternyata tak cukup banyak mengerem pengeluaran. Kementerian Keuangan mencatat belanja negara di APBN 2025 diproyeksi hanya akan dihemat dari Rp3.621,3 triliun menjadi Rp3.527,5 triliun.
Imbasnya, defisit APBN 2025 melebar dari yang semula hanya dipatok 2,53 persen atas produk domestik bruto (PDB) alias Rp616,2 triliun. Defisit kas negara tahun ini diklaim bakal tembus 2,78 persen atau setara Rp662 triliun.
Lanjut 2026, Menkeu Purbaya juga harus siap mengelola APBN tahun depan yang posturnya sudah diumumkan Presiden Prabowo pada Pidato RAPBN 2026 beserta Nota Keuangannya di DPR RI, Jumat (15/8). Prabowo diketahui mematok penerimaan 2026 senilai Rp3.147,7 triliun dan belanja negaranya tembus Rp3.786,5 triliun.
Meski diberi beban mengumpulkan penerimaan Rp3.147,7 triliun dan membiayai belanja Rp3.786 triliun, Purbaya sudah memastikan tak ada kenaikan tarif dan pajak baru. Ia juga belum menerima instruksi khusus dari Prabowo soal itu.
"Belum, belum ada (instruksi khusus dari Presiden Prabowo terkait penerimaan negara). Saya disuruh (Presiden Prabowo) belajar sama Dirjen Pajak (Bimo Wijayanto)," ungkap Purbaya dalam Konferensi Pers di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (8/9).
"Kalau Anda lihat, biasanya yang konstan apa? Tax ratio kan konstan, tax per PDB. Let's say kita enggak bisa dalam waktu dekat untuk meningkatkan tax, ya kita percepat pertumbuhan ekonominya. Kira-kira begitu," jelasnya soal strategi mengumpulkan penerimaan.
Nah berkaitan dengan masalah itu, adakah cara yang bisa ditempuh Purbaya demi membiayai program Prabowo?
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan Purbaya harus menghadapi sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang belum sempat dituntaskan Sri Mulyani dalam menyediakan anggaran untuk program prioritas Prabowo.
PR salah satunya berkaitan dengan cara menggenjot penerimaan pajak. Saat ini pemerintah dihadapkan pada permasalahan tax ratio yang rendah.
Yusuf mengamati bagaimana rasio pajak Indonesia mandek dalam beberapa tahun terakhir, bahkan lebih rendah dibandingkan sejumlah negara di Asia. Tax ratio Indonesia sekarang tercatat macet di kisaran 10 persen, yakni 10,31 persen di 2023 serta 10,08 persen pada 2024.
Oleh karena itu, Menkeu Purbaya perlu dipersenjatai strategi menyeluruh. Upaya menggenjot tax ratio itu kudu dibarengi memperkuat pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kebutuhan pendanaan serta keputusan belanja pemerintah.
"Namun, meningkatkan rasio pajak dalam 1 tahun-2 tahun bukan hal mudah. Karena itu, langkah yang realistis bagi menteri keuangan adalah merancang kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak secara bersamaan. Sembari menyesuaikan kebijakan pendanaan agar sejalan dengan risiko yang mungkin muncul," tuturnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/9).
Yusuf mengatakan ada opsi lain yang juga bisa dipertimbangkan Purbaya untuk membantu Prabowo membiayai programnya, yakni dengan penerbitan surat utang. Walau demikian, profil risiko dari penerbitan surat utang perlu dikelola dengan sangat hati-hati karena kondisi ekonomi ke depan terus diliputi ketidakpastian.
Karena kendala-kendala itu, ia mendesak pemerintahan Prabowo Subianto untuk berpikir realistis dalam menjalankan programnya. Langkah yang paling cocok dalam skema realistis, menurut Yusuf, adalah penyesuaian beberapa program flagship pemerintah.
Yusuf menyebut penyesuaian itu bisa ditempuh dalam berbagai bentuk, salah satunya dengan cara pilot project.
"Memulai program tertentu melalui proyek percontohan (piloting project) terlebih dahulu. Hasil uji coba ini dapat dievaluasi untuk menilai efektivitas dan keberlanjutan program, sebelum diputuskan apakah program tersebut layak dilanjutkan dalam skala yang lebih luas atau justru perlu dihentikan," saran Yusuf kepada pemerintah.
Sedangkan Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyu Askar meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bertindak dengan cara yang berbeda dari Sri Mulyani.
Media ikut menyoroti bagaimana stagnasi rasio pajak Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, ia menekankan Menkeu Purbaya harus mencari cara baru dalam menuntaskan masalah tersebut.
"Caranya apa? Jangan dipaksa menaikkan tarif pajak karena itu kan sifatnya regresif, banyak memukul masyarakat menengah bawah. Jadi, opsinya jelas, meningkatkan penerimaan pajak dengan mendorong pajak yang lebih progresif," pesan Media untuk Purbaya.
Media membagikan laporan CELIOS yang berjudul "Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang". Ia mengatakan ada 10 sumber pajak alternatif yang bisa ditarik pemerintah, di mana potensinya tembus Rp524 triliun per tahun.
Pajak itu adalah;
1. Pajak kekayaan: Rp81,6 triliun
2. Pajak karbon: Rp76,4 triliun
3. Pajak produksi batu bara: Rp66,5 triliun
4. Pajak windfall profit sektor ekstraktif: Rp50 triliun
5. Pajak penghilangan keanekaragaman hayati: Rp48,6 triliun
6. Pajak digital: Rp29,5 triliun
7. Peningkatan tarif pajak warisan: Rp20 triliun
8. Pajak kepemilikan rumah ketiga: Rp2,2 triliun
9. Pajak capital gain: Rp7 triliun
10. Cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK): Rp3,9 triliun
11. Meninjau ulang insentif pajak dianggap salah sasaran: Rp137,4 triliun
"Itu signifikan sekali kalau seandainya menteri keuangan yang baru bisa mendorong pajak alternatif, jumlahnya bisa sampai Rp524 triliun per tahun. Angka itu dari beberapa komponen pajak alternatif yang sifatnya progresif, mulai dari pajak kekayaan, pajak digital, cukai MBDK, dan pajak dari windfall tax batubara. Total ada 10 (pajak alternatif)," jelasnya.
"Penerimaan negara diperkuat serta ada pendanaan kreatif dan alternatif. Jadi, tidak melulu jalan akhirnya itu utang," tegas Media.
Terkait masalah utang, Media menekankan pemerintah harus memastikannya dipakai untuk sektor-sektor produktif. Ia mendesak peninjauan kualitas penggunaan utang pemerintah saat ini.
Ia juga berpesan agar Menkeu Purbaya Yudhi tak perlu menambah utang baru secara signifikan. Apalagi, hanya demi program-program strategis yang belum tentu melahirkan nilai tambah dalam waktu dekat.
"Opsi lain yang perlu didorong adalah debt swap, jadi mengonversi utang kita menjadi program pembangunan. Ini bisa jauh lebih reliable untuk dicoba karena Indonesia menjadi negara yang paling potensial sebetulnya untuk debt for nature swap dan debt for climate swap. Ini perlu didorong lebih baik lagi oleh pemerintah," tutur Media.