ANALISIS

Menanti Taji Purbaya Sikat Pengemplang Pajak

Sakti Darma Abhiyoso | CNN Indonesia
Rabu, 26 Nov 2025 07:00 WIB
Sejumlah ekonom menilai upaya penagihan pengemplang pajak tidak hanya memerlukan ketegasan politik tetapi juga instrumen teknis yang memadai. Ilustrasi. (iStockphoto).
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa tengah mengejar 200 pengemplang pajak yang berutang Rp50 triliun-Rp60 triliun ke negara untuk segera membayar utangnya.

"Kita punya list 200 penunggak pajak besar yang sudah inkracht. Kita mau kejar dan eksekusi. Sekitar Rp50 triliun-Rp60 triliun. Dalam waktu dekat akan kita tagih dan mereka enggak akan bisa lari," ucap Purbaya dalam Konferensi Pers APBN Kita di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (22/9) lalu.

Selang sehari, Purbaya mengultimatum para penunggak pajak. Ia memberi batas waktu satu minggu agar tagihan tersebut dilunasi. Jika tidak, sang Bendahara Negara mengancam bakal membuat susah hidup para pengemplang pajak.

Namun, per 24 November 2025, negara baru sanggup mengumpulkan Rp11,99 triliun dari 106 pengemplang pajak. Direktorat Jenderal Pajak pun hanya menargetkan bisa mengamankan Rp20 triliun hingga akhir tahun ini.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman menyoroti bagaimana Purbaya terkesan melunak.

Menurutnya, ini menggambarkan jurang antara retorika Purbaya dan kemampuan teknis DJP di lapangan.

"Mengejar piutang pajak bernilai besar tidak cukup hanya dengan gebrakan politik, di mana Purbaya membutuhkan mesin penegakan yang solid, tracing asset yang presisi, blokir rekening yang cepat, serta kemampuan membongkar struktur korporasi yang berlapis," kata Rizal kepada CNNIndonesia.com, Selasa (25/11).

"Fakta bahwa baru sekitar Rp11 triliun yang terkumpul menunjukkan bahwa arsitektur penagihan kita belum sepenuhnya siap menghadapi WP (wajib pajak) besar yang terbiasa bergerak dengan kelincahan finansial," sambungnya.

Rizal menegaskan hambatan DJP bukan semata masalah keberanian. Ada masalah dari kualitas instrumen dan koordinasi penagihan. Di lain sisi, banyak WP besar yang likuiditasnya tipis, pemiliknya kabur, atau justru tengah bermasalah secara hukum.

Masalah-masalah tersebut yang akhirnya menekan Purbaya. Anak buah Presiden Prabowo Subianto itu mesti berbenturan dengan prosedur administratif dan keterbatasan lintas lembaga, sehingga muncul kesan kompromi.

"Jika Purbaya ingin mendorong DJP mendekati target Rp20 triliun, pendekatannya harus bergeser menjadi penegakan berbasis risiko, bukan sekadar sweeping. Artinya, fokus pada WP yang paling mungkin membayar, memperkuat data aset, dan mempercepat sanksi koersif, misalnya dengan blokir, sita, hingga gijzeling (penyanderaan) agar efek jera terbentuk," saran Rizal.

"Ke depan, Purbaya kemungkinan tetap menghadapi friksi dalam mengejar para pengemplang pajak. Akan tetapi, begitu sistem penegakan yang lebih disiplin dan terukur terbentuk, proses ini akan menjadi lebih mudah secara institusional," imbuhnya.

Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi melihat persepsi Purbaya yang melunak terbentuk karena penagihan bergerak dari retorika ke proses hukum berlapis.

Ia menyebut setoran Rp11,9 triliun yang sudah masuk ke negara menunjukkan ada kemajuan, walau hambatan nyata mengintai.

Ia mencontohkan bahwa sebagian kasus berstatus sengketa sehingga butuh putusan, sedangkan sebagian lagi meminta skema cicilan yang mengurangi laju setoran kas.

DJP juga mesti berhadapan dengan struktur kepemilikan berlapis, transfer harga lintas yurisdiksi, dan aset yang mudah dipindah.

"Purbaya harus menyeimbangkan ketegasan dengan kehati-hatian prosedural agar tagihan tidak rontok di pengadilan. Jadi, masalah utamanya bukan keberanian politik semata, melainkan friksi penegakan, kualitas data, dan kebutuhan follow-through yang presisi hingga uang benar-benar masuk ke kas negara," tegasnya.

Syafruddin menyarankan pemerintah berani menetapkan sanksi otomatis bagi WP besar yang gagal memenuhi settlement, termasuk penyitaan aset dan pembatasan akses fasilitas perpajakan. Di lain sisi, skema cicilan diperbolehkan hanya dengan jaminan likuid dan tenggat waktu ketat.

Ia juga meminta Purbaya melaporkan secara rutin ke publik tentang progres penagihan 200 pengemplang pajak, setidaknya setiap dua pekan. Langkah ini dianggap penting agar efek jera terpelihara dan tax morale mayoritas WP patuh terjaga.

Gampang-gampang Susah

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono mengingatkan bahwa menagih utang pajak 'gampang gampang susah'.

Ia menyebut juru sita di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebenarnya memiliki instrumen penagihan secara legal dari paling ringan hingga paling berat. Namun, penagihan akan susah ketika aset yang disita sebagai jaminan utang tidak memadai atau sulit laku pada saat dilelang.

"Contohnya, aset kapal crane yang disita dari WP di sektor tambang batu bara. Pelelangannya akan mengalami kendala dari sisi pembelinya ketika ternyata aset tersebut sudah dijaminkan ke kreditur, misalnya perbankan," ucap Prianto memberi contoh kasus.

"Kesulitan lainnya muncul ketika pengemplang pajak dipailitkan oleh kreditur lain, sesuai putusan pengadilan niaga yang sudah inkracht. Selain utang pajak, perusahaan pailit tersebut memiliki utang upah pekerja yang harus diselesaikan," tambahnya.

Prianto kemudian mengutip UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa atau UU PPSP yang sudah memberikan instrumen lengkap kepada DJP untuk melakukan penagihan. Upaya itu mencakup penyitaan aset WP dan penanggung pajaknya, termasuk blokir rekening bank; dan/atau penyanderaan (gijzeling) WP, wakil WP badan, atau penanggung pajaknya.

"Selama masih ada waktu dan kesempatan, semua pihak tetap harus optimis agar ada upaya lebih ekstra untuk menambah setoran pajak. Ketika jawabannya 'tidak akan terkumpul', ada rasa pesimisme. Padahal, masih ada waktu hingga akhir Desember (2025)," tandas Prianto.

(sfr)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK