ANALISIS

Menakar Kelayakan Rumus UMP 2026: Buruh Sejahtera atau Tetap Nelangsa?

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Kamis, 18 Des 2025 07:45 WIB
Ada jurang lebar antara upah buruh dengan realitas biaya hidup. Pangkal masalahnya pemerintah keliru menetapkan referensi utama ketika meramu rumus UMP.
Ada jurang lebar antara upah buruh dengan realitas biaya hidup. Pangkal masalahnya pemerintah keliru menetapkan referensi utama ketika meramu rumus UMP. (Foto: CNN Indonesia/Damar Iradat)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah resmi menetapkan formula baru untuk penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Kebijakan ini kembali menjadi perhatian publik karena menyangkut kesejahteraan jutaan pekerja alias buruh di seluruh Indonesia.

Formula kenaikan UMP 2026 menggunakan rumus inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alfa), dengan rentang alfa 0,5 - 0,9. Hal ini berbeda dengan UMP 2025, di mana alfa menggunakan besaran rentang 0,1 sampai 0,3 poin.

"Jadi formula tidak ada yang berubah dari formula bahwa kenaikan upah sama dengan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikali alfa. Alfanya inilah yang diputuskan oleh Pak Presiden, nilainya 0,5 sampai 0,9," ujar Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (17/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan formulasi ini, maka kenaikan UMP tiap provinsi sudah jelas berbeda. Hanya saja, dengan alfa yang lebih besar dari tahun ini, maka upah akan tetap naik.

"Jadi kalau tadi ada bertanya, jadi berapa kenaikannya Pak Menteri? Ya tergantung dari masing-masing daerah. Ada yang memilihnya mungkin 0,6, 0,7, 0,8. Tidak ada tentu istilahnya upahnya turun, karena formulanya tadi adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi kali alfa," jelasnya.

Bagi daerah dengan pertumbuhan ekonomi negatif, ia memastikan Dewan Pengupahan Daerah akan mempertimbangkan kenaikan UMP hanya berdasarkan inflasi dan alfa.

Sementara itu, buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ingin alfa yang digunakan adalah 0,9.

Dengan alfa 0,9, buruh ingin UMP Jakarta bisa naik 6,9 persen. Saat ini UMP Jakarta adalah Rp5.396.761, dengan kenaikan 6,9 persen maka membuat upah di DKI tahun depan menjadi Rp5,769.137.

"Buruh berjuang di 0,9, indeksnya. Nah, berapa 0,9 indeksnya itu? DKI (Jakarta), misal, naiknya jadi 6,9 persen," jelas Iqbal dalam Konferensi Pers via Zoom, Rabu (17/12).

Ia mengklaim Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli hingga Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan awalnya menyodorkan alfa 0,3-0,8. Akan tetapi, Presiden Prabowo Subianto menolak seluruh usul anak buahnya tersebut.

"Artinya, Presiden (Prabowo Subianto) itu gak mau upah murah. Buktinya apa? Usulan menaker, usulan Dewan Ekonomi Nasional Pak Luhut Binsar Pandjaitan, Usulan Menko Perekonomian Pak Airlangga ditolak oleh presiden. Diubah oleh presiden menjadi 0,5 sampai dengan 0,9," ungkapnya.

KSPI menuntut para gubernur patuh dengan perintah Presiden Prabowo, yakni menetapkan UMP 2026 dengan angka alfa tertinggi.

Said Iqbal lalu mengungkapkan aduan dari para buruh bahwa DKI Jakarta dan Jawa Barat bersiap menggunakan indeks tertentu alias alfa yang rendah. Ia tegas menolak jika para kepala daerah itu tidak menetapkan UMP 2026 berdasarkan alfa 0,9.

Meski menerima rumus atau formula UMP 2026, pria yang juga Presiden Partai Buruh itu menolak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan. Ia menegaskan buruh tidak pernah diajak untuk merumuskan beleid tersebut.

Iqbal mengklaim hanya pernah satu kali mengikuti sosialisasi pada 3 November 2025, itu pun hanya berlangsung dua jam. Ia lantas mempertanyakan poin kebutuhan hidup layak (KHL) yang dinilai tidak tertuang dalam peraturan pemerintah tersebut.

"Kalau menggunakan data BPS (Badan Pusat Statistik), seharusnya menggunakan survei biaya hidup yang kita kenal dengan SBH. Hidup di Jakarta bisa Rp15 juta. Tidak mungkin hidup di Jakarta Rp5 juta, menurut survei biaya hidup BPS, sebulannya," beber Iqbal.

Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan formul UMP baru dengan koefisien alfa 0,5-0,9 sebenarnya bergerak ke arah yang lebih progresif dibanding aturan lama, tetapi belum tentu ideal untuk kondisi ekonomi saat ini.

Di satu sisi, ekonomi masih menghadapi tekanan berupa ruang fiskal sempit, ketidakpastian global tinggi, dan banyak sektor usaha belum pulih penuh. Di sisi lain, biaya hidup pekerja naik terus terutama untuk pangan, sewa hunian, dan transportasi.

"Dalam situasi seperti ini, menaikkan Alfa memberi sinyal bahwa pemerintah mulai mengakui hak pekerja atas porsi yang lebih besar dari pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, titik awal UMP di banyak daerah sudah terlanjur rendah dibanding kebutuhan hidup layak, sehingga penambahan beberapa persen saja tetap menyisakan jurang lebar antara upah dan realitas biaya hidup," katanya pada CNNIndonesia.com.

Belum lagi, sambungnya, kemungkinan banyak pemda memilih koefisien alfa di batas bawah jika tidak diawasi secara politik dan sosial. Kepala daerah selalu berada di tengah tarikan kepentingan: pengusaha menuntut biaya tenaga kerja tetap terkendali, sementara buruh menuntut upah yang lebih manusiawi.

Dalam situasi itu, pemilihan alfa 0,5 dinilai terasa aman secara politik jangka pendek karena bisa diklaim mengikuti aturan pemerintah, sekaligus tidak mengusik dunia usaha secara berlebihan.

"Jika pola ini terjadi di banyak provinsi, rumus baru hanya akan menghasilkan sedikit perbaikan di atas kertas, sedangkan harapan buruh untuk merasakan porsi pertumbuhan yang lebih adil kembali tertunda," katanya.

KHL Harus Jadi Referensi Utama, Bukan Lampiran Basa-basi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER