ANALISIS

Menakar Kelayakan Rumus UMP 2026: Buruh Sejahtera atau Tetap Nelangsa?

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Kamis, 18 Des 2025 07:45 WIB
Ada jurang lebar antara upah buruh dengan realitas biaya hidup. Pangkal masalahnya pemerintah keliru menetapkan referensi utama ketika meramu rumus UMP.
KHL Harus Jadi Referensi Utama, Bukan Lampiran Basa-basi. (Foto: iStockphoto)

Ia menilai formula UMP yang ideal seharusnya berangkat dari konsep kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai fondasi. Lalu, menambahkan variabel makro seperti inflasi, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi.

Dengan kata lain, KHL menjadi titik referensi utama, bukan sekadar lampiran survei yang tidak mengikat. Setelah itu, inflasi menjaga supaya daya beli tidak tergerus, pertumbuhan ekonomi menjadi dasar distribusi keuntungan, dan produktivitas mendorong hubungan sehat antara kenaikan upah dan peningkatan kinerja.

Di atas aspek teknis, formula ideal juga mensyaratkan transparansi data dan partisipasi penuh serikat pekerja dan pengusaha dalam Dewan Pengupahan. Dengan begitu, angka yang keluar bukan sekadar keputusan birokrasi, melainkan hasil perundingan yang dapat dipertanggungjawabkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, Syafruddin juga menilai pengumuman UMP baru menjelang akhir tahun dengan tenggat waktu yang sangat pendek jelas terasa mepet bagi semua pihak di lapangan. Perusahaan butuh waktu menyusun ulang struktur biaya, meninjau kontrak, dan menyesuaikan perencanaan bisnis. Pekerja juga memerlukan kepastian agar bisa merencanakan keuangan keluarga.

Kondisi ini menambah kebingungan di level pemda yang masih beradaptasi dengan PP pengupahan baru sekaligus menghadapi tekanan fiskal dan ekonomi daerah.

"Idealnya, pemerintah menetapkan jadwal tetap yang lebih longgar dengan sosialisasi sejak jauh hari, sehingga perdebatan di Dewan Pengupahan berlangsung terbuka dan masyarakat bisa menilai argumen masing-masing pihak sebelum keputusan final keluar. Tanpa perubahan pola waktu seperti itu, kebijakan UMP berisiko terus hadir sebagai kejutan tahunan, bukan sebagai bagian dari kontrak sosial yang matang antara negara, pengusaha, dan pekerja," katanya.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan formula UMP 2026 tidak sepenuhnya ideal. Kekurangannya, formula ini mengabaikan KHL sehingga pekerja di daerah dengan KHL tinggi berpotensi tetap kehilangan daya beli.

"Lalu komponen pertumbuhan ekonomi bisa nol/negatif sehingga kenaikan malah menjadi sangat minimal, dan rentang alfa yang diajukan membuka ruang untuk tarik-menarik antara politik dan ekonomi.

Belum lagi beberapa daerah katanya sangat mungkin memilih koefisien alfa paling kecil. Tanpa baseline berbasis KHL dan kriteria pemilihan koefisien yang mengikat, beberapa daerah diperkirakan akan memilih angka kecil.

Ronny menilai formula ideal adalah mengutamakan KHL sebagai floor atau baseline. Lalu, indeksasi terhadap inflasi dan produktivitas plus mekanisme catch-up untuk daerah yang UMP-nya lebih kecil dibanding KHL.

Mekanisme catch-up merupakan tambahan kenaikan upah yang diberikan khusus untuk daerah atau kelompok pekerja yang upah minimumnya masih jauh di bawah.

"Kalau UMP sekarang belum cukup untuk hidup layak, maka selain naik karena inflasi dan pertumbuhan, ditambah 'bonus kenaikan' agar jaraknya dengan KHL menjadi sangat minimal," katanya.

Ia menekankan formula baru bisa dirasakan manfaatnya oleh pekerja jika KHL jadi baseline, baru kemudian kenaikan dikaitkan ke inflasi dan produktivitas. Lalu, pilihan koefisien dibatasi oleh aturan yang transparan. Karenanya, data publik wajib ada dan terbuka untuk diakses publik, seperti data KHL, inflasi, produktivitas, hasil kesepakatan tripartit yang transparan, dan lainya.

"Kalau tidak demikian, pekerja di daerah miskin bisa makin merugi. Intinya, pengukuran kenaikan upah atas kebutuhan hidup pekerja sangat penting," katanya.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER