Jakarta, CNN Indonesia -- Orang tua tipikal pengatur dapat memengaruhi sikap anak saat menjalin hubungan asmara ketika dewasa. Dikatakan dalam sebuah penelitian bahwa orang tua seperti ini kerap membuat si anak merasa bersalah.
Bila terus berlanjut, si anak kelak akan kesulitan menghadapi perbedaan pendapat saat dewasa. Hal ini turut berpengaruh pada perilaku anak saat menjalin hubungan asmara.
“Untuk menjaga hubungan yang sehat, sangatlah penting untuk dapat menghargai pendapat pasangan meskipun berbeda pendapat,” kata pemimpin penelitian itu, Barbara Oudekerk yang juga psikolog di University of Virginia, Charlottesville.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti dilaporkan dari laman
Reuters, penelitian sebelumnya menemukan bahwa remaja yang mengalami kesulitan menyatakan pendapatnya berisiko bersikap memusuhi saat tengah berbeda pendapat dengan pasangan.
Mereka juga kerap mengalami depresi dan kesepian saat dewasa meskipun sedang dekat dengan orang lain. Pengalaman mereka dengan orang tua turut memengaruhi hal ini.
Dalam penelitian ini, 184 remaja diwawancarai saat berusia 13 tahun. Mereka kemudian diwawancarai lagi saat berusia 18 tahun.
Para remaja ini diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang seberapa sering ayah atau ibu mereka mengontrol mereka secara psikologis. Misalnya, membuat mereka merasa bersalah, tidak menampakkan kasih sayang, menyebabkan rasa cemas, serta menggunakan teknik manipulatif lainnya.
Sebagian orang tua menggunakan kontrol psikologis dengan berkata, “Bila kamu peduli pada saya, kamu tidak akan melakukan sesuatu yang membuat saya cemas”, atau menjadi jauh ketika tidak bertatap muka dengan anaknya.
Peneliti juga mengamati kemampuan para remaja ini dalam mengekspresikan rasa percaya diri serta kemampuan menunjukkan kehangatan pada usia 13, 18, dan 21 tahun. Untuk mengetahui hal ini, para peneliti juga melakukan survei ke teman dekat mereka.
“Kami menemukan bahwa semakin besar kontrol psikologis yang diterapkan orang tua pada anak, maka akan semakin besar pula kesulitan yang akan dihadapi anak saat mengahadapi argumentasi dengan sahabat dekat dan pasangan,” kata Oudekerk.
“Secara umum, kami menemukan bahwa semakin besar kontrol psikologis yang diberikan orang tua kepada anak, maka anak akan semakin sulit mengekspresikan pendapat mereka serta kesulitan memberikan alasan-alasan mereka dengan cara yang kolaboratif,” katanya.
Kontrol psikologis semacam itu membuat para remaja berpikir bahwa ketidaksetujuan dapat merusak suatu hubungan. Mereka berpikir daripada hal itu terjadi, lebih baik menjadi setuju.
“Secara umum, kontrol psikologis bukanlah hal yang bijak dilakukan orang tua. Alangkah baiknya bila para orang tua tidak melakukan hal tersebut,” kata Judith Smetana, peneliti perkembangan remaja dari University of Rochester, New York yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
“Sayangnya, orang tua yang melakukan hal tersebut sering kali tak sadar dan tidak berniat berubah,” ujar Laura Walker dari Brigham Young University, Provo, Utah. Sementara, dokter anak dan guru sering kali kesulitan mendeteksi hal ini.
“Satu hal yang berbahaya dari kontrol psikologis adalah hal ini sulit dideteksi, meskipun oleh orang yang dikontrol. Hal inilah yang sulit diberantas,” katanya.