Jakarta, CNN Indonesia -- Saat berhubungan seksual, orgasme adalah puncak kenikmatannya. Sayang, kaum Hawa seringkali tak bisa merasakan. Tapi dalam beberapa kasus, pria pun bisa mengalami gangguan orgasme dan tak bisa merasakan nikmatnya ejakulasi.
Orgasme bukanlah hal yang sederhana. Puncak kenikmatan seksual ini sebenarnya merupakan reaksi kompleks yang melibatkan faktor fisik, emosional, dan psikologi. Jika terjadi masalah pada salah satu faktor, kemampuan tubuh merasakan orgasme pun akan terganggu.
Meski lebih umum dikeluhkan perempuan, gangguan orgasme juga bisa terjadi pada pria. Gangguan orgasme pada pria adalah terhambatnya atau tidak tercapainya orgasme yang bersifat persisten atau berulang setelah memasuki fase rangsangan (
excitement phase) selama melakukan aktivitas seksual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada (gangguan orgasme pada pria), tapi frekuensinya amat sedikit dibandingkan dengan gangguan orgasme pada wanita," jelas Andri Wanananda, seksolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta, saat dihubungi
CNN Indonesia, Jumat (6/11).
Dijelaskan Andri dalam tulisannya, pria yang mengalami hambatan orgasme tetap dapat mencapai ereksi dan ejakulasi. Namua, ia tidak akan bisa merasakan sensasi erotik saat ejakulasi itu terjadi.
Penyebabnya beragam, mulai dari faktor fisik, konsumsi obat, dan faktor psikis. Faktor fisik bisa disebabkan karena adanya penyakit susunan saraf pusat, seperti
multiple sclerosis, Parkinson,
Huntingtons Chorea, dan
lumbar sympathectomy.
Beberapa jenis obat juga bisa memicu gangguan orgasme pada pria, antara lain
tricyclic antidepresan dan
monoamine oxidase inhibitors. Sedangkan faktor psikis bisa karena kecemasan, perasaan takut menghamili, dan kejemuan terhadap pasangan.
“Untuk mengatasi hambatan orgasme karena penyakit, penyebabnya harus diatasi dulu,” kata Andri menjelaskan.
Untuk mengatasi penggunaan obat, lanjut Andri, yang menjadi penyebab obat-obatan tersebut harus dihentikan. Sedangkan untuk mengatasi hambatan orgasme karena penyebab psikis, tentu diperlukan terapi perilaku untuk menyehatkan kembali psikologinya.