Jakarta, CNN Indonesia -- Mungkin belum banyak orang tua yang tahu mengenai hipotiroid kongenital. Gangguan ini disebabkan kekurangan hormon tiroid sejak lahir. Kekurangan hormon ini dapat menyebabkan keterbelakangan mental, kesulitan bicara, serta anak bertubuh pendek (
stunting).
Gangguan ini perlu diwaspadai semenjak bayi baru lahir. Oleh karena itu, perlu langsung dilakukan skrining hipotiroid kongenital ketika bayi lahir, yaitu ketika berusia 48-72 jam.
Dengan melakukan tes darah, dapat diketahui apakah bayi mengalami gangguan tiroid atau tidak. Bila hasil positif, maka bayi dapat segera diobati sebelum berusia sebulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Konsultan Endokrin Anak, Diet S. Rustama, bayi biasanya tidak memperlihatkan gejala gangguan itu. "Biasanya usia dua sampai tiga bulan baru terlihat gejalanya. Namun, kalau gejala sudah terlihat maka sudah terlambat. Dalam satu bulan saja, sebanyak dua poin IQ akan hilang," katanya saat konferenai pers Skrining Hipotiroid Kongenital di Hotel Amarossa Bekasi, Kamis (13/11).
Celakanya, menurut Diet, sedikit sekali orang tua di Indonesia yang berinisiatif memeriksakan bayinya. "Di Indonesia jumlah bayi yang di skrining di bawah satu persen. Padahal, di Filipina sudah 50 persen, dan Thailand sudah hampir 100 persen," tutur dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Hermina, Bandung ini.
Padahal, pengobatan dini dapat mencegah dampak yang fatal, seperti keterbelakangan mental dan tubuh pendek. "Ada pasien saya yang langsung diobati dan saat besar ternyata tingginya normal dan jadi juara renang. Sementara yang tidak diobati secara dini sampai usia enam tahun belum bisa bicara dan tubuhnya sangat pendek," ucapnya.
Diet berpendapat biaya skrining dan pengobatan termasuk murah. Untuk sekali skrining hanya dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 ribu, sedangkan obatnya sekitar Rp 1.500 per tablet.
Ada sekitar 1.600 bayi yang mengalami hipotiroid kongenital di Indonesia. Kemungkinannya satu di antara tiga ribu bayi. Sebesar 98 persen disebabkan lingkungan, sementara sisanya adalah karena genetik. "Namun, sampai sekarang, penyebab pastinya belum diketahui," kata Diet menambahkan.
Diutarakan oleh Diet, rasa malu keluarga sering kali jadi penyebab si anak tidak diobati. "Mereka kerap disembunyikan di rumah karena dianggap mempermalukan keluarga. Masih ada stigma yang menganggap mereka sebagai keturunan yang 'jelek'," kata Diet. Di Indonesia, jumlah penderita selayaknya gunung es, banyak yang tidak terlihat.
"Harus ada perubahan cara pikir dari pejabat kita. Mereka harus mulai memikirkan masalah ini karena anak-anak adalah aset bangsa," kata Diet kemudian mengakhiri pembicaraan.